Daksa, kalau nanti lelah sambangimu sampai terasa remuk harapmu, jangan merasa sendiri ya? Sebab di sini, dari jauh, doa-doaku akan temanimu satukan lagi harapnya.
Kalau nanti harimu rasanya terlalu pahit, menangis saja tak apa.
Memang sih, tidak salah berpikir kalau laki-laki harus selalu kuat. Tapi kalau kamu mau menangis pun, tak apa.
Kamu kan manusia, Sa. Kalau nanti ingin menangis, aku akan pinjamkan peluk supaya lebih ringan pelikmu.
Kita topang sama-sama ya nanti lemahnya?
Manusia memang cuma perencana, Sa.
Aku dan kamu tak bisa paksakan apa-apa akan sesuai mau kita pada akhirnya. Yang kita bisa ya cuma berusaha dan berdoa dengan doa yang sebaik-baiknya.
Jadi, berhenti salahkan diri sendiri ya kalau hasilnya ternyata tak sesuai dengan apa yang kita terka?
Sa, seperti katamu waktu itu, bumi ini cuma batu.
Yang di dalamnya berdiri panggung megah dengan jutaan lakon yang memainkan perannya. Yang namanya sandiwara, tak mungkin hanya senang saja kan yang kita temui di dalamnya?
Hidup ini sama, Sa. Sekarang mungkin sedih dan lelah kekang langkahmu dengan angkuh, tapi di saat yang bersamaan, satu dua potong bahagia sudah menunggu untuk usir semua keruh.
Jadi, sambil menunggu terangnya datang, kita nikmati dulu gelapnya, ya?
Kita bisa nyalakan satu dua lilin doa untuk usir padamnya.
Kita bisa bercerita satu dua kenang tentang pesan apa yang dititipkan Sang Pencipta di antara keruh yang sedang peluk kita.
Yang penting, bertahan saja.
Bertahan saja, Sa.
Sekalipun tertatih, atau merintih, tak apa.
Kita kan manusia.
Tapi ingat selalu, ya.
Tak mungkin Tuhan kirim air mata tanpa maksud apa-apa.
----------------
KAMU SEDANG MEMBACA
surat-surat yang pergi
Teen FictionKita adalah sebentang jalan yang berseberangan, Sebentang laut yang saling melawan, Sebentang langit yang saling memanggil hujan, Pun sebentang batas antara dua isi kepala yang terlalu sukar untuk dipadukan. Tapi, untukmu aku ada, dan untukku, kamu...