Daksa, aku mengetik surat ini di siang yang redup. Tak tentu si Tuan Cuaca akan menyapa dalam bentuk yang bagaimana. Tak tentu juga semua rasa yang menyelimuti hatiku saat kalimat ini nampak di layar.
Kata apa selain hancur yang bisa kupakai untuk memperkenalkan diri saat ini, Daksa?
Sebab aku sudah terlampau hancur untuk sekadar menjadi empu atas kata itu. Aku sudah babak belur, terlalu banyak luka yang digarami.
Rasanya aku ingin waktu berhenti, lalu kubiarkan luka itu sembuh sendiri.
Kuhitung sampai tiga sambil duduk bersila, berharap di hitungan ketiga semua luka itu sirna. Tapi sampai hitungan ke seratus pun sakitnya semakin terasa. Mungkin aku lupa kalau aku bukan tukang sulap yang bisa membabat habis semua sakit yang ada.
Daksa, aku terlalu pandai merawat semua raga yang ada, tapi tidak dengan diriku sendiri. Aku terlalu cakap memberi cinta ke semua nyawa, tapi tidak dengan diriku sendiri. Lalu setelah sadarku menguasa, baru terasa kalau diri sendiri hilang entah ke mana.
Terlalu lama memasang topeng.
Terlalu lama berpura-pura.
Terlalu lama menjadi segala yang diucap mulut lainnya. Harus menjadi ini. Harus menjadi itu. Harus seperti ini. Harus seperti itu. Kenapa juga kuturuti semua mau padahal aku sudah cukup sebagai aku?
Ke mana aku?
Perlu kucari ke mana aku?
-------------
KAMU SEDANG MEMBACA
surat-surat yang pergi
Teen FictionKita adalah sebentang jalan yang berseberangan, Sebentang laut yang saling melawan, Sebentang langit yang saling memanggil hujan, Pun sebentang batas antara dua isi kepala yang terlalu sukar untuk dipadukan. Tapi, untukmu aku ada, dan untukku, kamu...