XIX

183 48 12
                                    

Pintu mobil yang tertutup dengan kencang, memperlihatkan Altha berdiri tepat di samping kendaraan milik saudaranya itu. Mereka sudah tiba di depan gerbang hitam bangunan biara. Altha menoleh ke belakang sesaat Ronald berhasil mengeluarkan bahan pangan keinginan Altha dari dalam bagasi. Selepas itu, Ronald bertolak pinggang dan menatap adiknya.

"Masuklah," pinta Ronald.

"Lalu, bagaimana dengan bahan pangan itu?" tanya Altha.

"Akan kuberikan bahan ini pada pendeta Mason," jawabnya.

"Baiklah," balas Altha yang berjalan membuka pintu gerbang biara lalu masuk ke dalam bangunan itu seorang diri.

Setelah kepergian Altha, Ronald mengangkat kembali karung tersebut dan berjalan memasuki bangunan sekitar gereja untuk menghampiri pendeta Mason. Sesampainya dia di depan pintu pendeta dan mengetuk pintu ruang kerjanya, Ronald yang tidak sengaja melihat ke sembarang arah, mendapati seorang biarawati berpakaian putih berdiri di ujung koridor dengan tatapan mengarah kepada dirinya.

Saat itu juga, dahi Ronald mengernyit. Wajah biarawati itu tampak terlihat cantik dan sepertinya Ronald belum pernah melihat wanita itu sebelumnya. Biarawati itu mulai berjalan memasuki koridor yang lain secara perlahan bersamaan dengan terbukanya pintu ruang kerja pendeta Mason.

"Oh? Selamat pagi tuan Ronald," sapanya ramah.

"Selamat pagi pendeta Mason," jawab Ronald sembari menurunkan pandangannya tepat ke arah bahan pangan yang dia bawa.

"Ada keperluan apa kau membawa bahan pangan ini seorang diri?" tanyanya.

"Ini adalah hadiah kecil yang sengaja aku berikan kepada pihak kegerejaan karena telah menerima baik kehadiran Altha di dalam biara agar bisa menjadi seorang biarawati yang baik," jelasnya. "Kumohon terimalah."

"Kau tidak perlu bersusah payah untuk memberikan hadiah apapun itu kepada pihak kegerejaan. Altha sendiri sudah kami anggap sebagai anggota keluarga di tempat ini," Pendeta Mason tersenyum. "Percayakan keberadaan Altha pada kami."

Ronald menatap kedua mata pria tua di hadapannya itu. Dia merasa aneh dengan sikap pendeta Mason yang tampak terlihat biasa-biasa saja meski sudah banyak korban berjatuhan di dalam biara berada dekat dengan gereja tersebut. Seakan memang tidak ada satupun masalah, Ronald sendiri juga bersikap seakan tidak mengetahui apapun agar disisi lain keberadaan Altha bisa menjadi aman untuk menyelesaikan tujuannya di dalam sana.

"Apakah ada peraturan baru mengenai biara di sana?" tunjuknya.

"Peraturan baru?" pendeta Mason mengernyit.

"Semacam pakaian baru yang dikenakan mereka berubah menjadi warna putih," jawab Ronald.

Pendeta Mason tersenyum kecil. "Tidak, pakaian itu hanya berakhir pada tahun 1865an."

Ronald terpaku mendengarnya. Seakan dia tidak bisa mempercayai apa yang barusan didengar, Ronald meyakinkan kembali ucapan pendeta tersebut.

"Benar, mungkin saja kau telah salah liat," serunya dengan sedikit kikuk.

"Bisa saja seperti itu. Baiklah, aku harus kembali bekerja. Kutitipkan Altha kepadamu, pendeta Mason," pinta Ronald.

"Jangan khawatirkan hal itu, tuan," jawabnya.

🔱🔱🔱

Sementara suasana di dalam biara, Altha hendak berjalan seorang diri untuk masuk ke dalam kamarnya. Namun, saat akan memasuki perempatan koridor, langkah Altha terhenti ketika melihat Eleanor memanggil namanya dengan ekspresi yang sedikit panik. Senior itu kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada temannya, Lucy. Mendengar semua penjelasan yang telah diberikan oleh Eleanor, Altha hanya bisa terdiam tanpa memberikan respon. Dia tidak ingin memberikan jawaban sembarangan karena Altha mengingat pesan saudaranya untuk jangan kembali melakukan tindak kecerobohan yang dapat memungkinkan dirinya bisa terjebak.

[Completed] TSS [5]: M A R Y's RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang