JUDGMENT
"Memutuskan sesuatu itu sama seperti pisau, bisa menjadi bahaya bila melenceng sedikit saja. "
.
.
."Ayah ... Ibu, Kira pulang." Suara riang Kira mencelos masuk ke dalam rumah. Ia berdiri di ambang pintu dengan senyum lebarnya sementara Jin mengekor di belakang ikut tersenyum dalam hati kala mendapati kegembiraan tengah menyelimuti gadis itu. Jin yang penasaran menatap sekeliling teras rumah. Ada beberapa tanaman yang berada di pinggir lantai yang di pot rapi seperti bunga Kamboja, Mawar, beberapa tanaman menjalar, dua kursi dan sebuah meja dari kayu yang tersusun rapi di dekat jendela. Rumah Kira tak terlalu besar tapi bersih dan nyaman untuk di huni, bercat ungu pastel yang menenangkan hati.
Tak berapa lama dua orang paruh baya terlihat tergesa-gesa keluar dari dalam rumah. Mereka tersenyum lebar. "Kir, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Siti sembari memeluk putrinya itu. Ibu manapun pasti akan cemas kala anaknya tidak pulang saat hujan deras, di tambah ia harus menginap di rumah seorang laki-laki.
Kira mengangguk beberapa kali dengan senyum yang tak pudar barang sedikit pun. Sementara sang ayah menyunggingkan senyum setelah mengelus pelan surai hitam putri semata wayangnya itu. Tapi beberapa saat kemudian fokusnya teralihkan oleh seorang laki-laki yang berdiri di belakang anaknya. Jin merasa di perhatikan pun tersenyum canggung sebelum akhirnya membuka suara. "Siang Om, saya Jin. Maaf harus membuat Kira menginap. Saya tidak bisa mengantarnya pulang." Jin menggaruk tengkuk, entah mengapa ia menjadi canggung dan kesulitan memilih kata.
Tian mengangguk tapi tatapnya belum melunak, membuat Jin salah tingkah sendiri. "Kamu Jin dari lampu ajaib milik Aladin?"
Seketika Jin terdiam sebelum akhirnya terkekeh pelan, ia terlalu takut bila ayah Kira marah padanya. "Bukan Om, mungkin akan menyenangkan bila saya memang jin sungguhan."
Tian hanya terkekeh sebelum sang istri berteriak heboh, "Ya ampun, kamu yang semalam menelfon ya? Kok cakep banget, kayak artis-artis yang ada di TV?"
Refleks Kira menepuk jidat sembari menggeleng tak percaya sementara Jin yang mendapat pujian hanya bisa mengulum senyum malu. "Iya Tante, saya tidak sekeren itu, biasa saja tapi cukup di atas rata-rata." Seketika kira mendengus mendengar jawaban kelewat percaya diri sang bos.
"Kalau begitu, ayo masuk!" ajak Siti bersemangat meskipun ada beberapa hal yang masih ia pikirkan, terdapat banyak sekali keraguan.
Pada akhirnya mereka masuk ke dalam dan duduk di sofa maroon yang ada di ruang tamu. Kira dan ibunya memilih pergi ke dapur untuk membuatkan Jin minuman. Di sana Siti menghela kala menyiapkan gelas. "Kir, kamu jadi bekerja di rumah si tampan," tanya Siti.
Seketika Kira terbelalak lantas menoleh, menatap ganjil sang ibu yang sibuk mengambil beberapa roti. Kira berpikir sejenak sembari menuang jus jeruk ke dalam gelas. "Jadi Bu, Kira tak punya pilihan lain, dia sudah baik mau meminjamkan uang kepada kita. Tak masalah bila aku memang harus bekerja."
"Bukan itu masalahnya, Kir. Ibu setuju-setuju saja bila kamu bekerja tapi bila harus tinggal di rumah si tampan agaknya itu cukup beresiko."
"Kira tahu. Tapi aku bisa menjaga diri, kok. Rahasiaku pasti akan aman." Kra hanya mencoba meyakinkan Siti sekalipun hatinya tak mampu berkhianat jika ia sendiri merasa takut.
"Ibu tak menyuruh atau melarangmu. Semuanya tergantung pada dirimu sendiri. Asalkan kamu bisa menjaga semuanya ibu rasa itu tidak masalah."
"Pasti Bu. Ibu tenang saja. Semuanya akan aman dan tetap terpendam dengan rapat." Kira tahu senyum yang ia tampilkan saat ini memang hanya sebuah dusta.
Siti mengangguk meskipun setitik kecemasan masih menyelimuti. "Ayo kita bicarakan semuanya." Siti melangkah keluar dapur yang bersih dan rapi itu diikuti oleh Kira di belakangnya yang membawa minuman. Sementara di ruang tamu Jin dan Tian mengobrol ringan.
"Kamu hebat juga yang masih muda sudah bisa memiliki toko sendiri, dulu sewaktu saya seumuran kamu saya justru sibuk mencari belahan jiwa," ujar Tian dengan raut kagum.
Jin terkekeh, "Sebenarnya modal untuk membangun toko itu bukan sepenuhnya milik saya, orang tua saya ikut memberikan modal. Waktu itu saya menjadi koki di salah satu kafe dan ternyata uang yang saya kumpulkan masih kurang."
"Tapi bagus, kamu mencoba mandiri."
Lagi-lagi Jin hanya bisa mengulum senyum sebelum akhirnya atensinya teralihkan oleh dua orang perempuan yang muncul dari dapur. Kira mendekat dengan senyum tipisnya. "Di minum ya, maaf tidak bisa memberi lebih."
Jin mengangguk dengan guratan paham akan kondisi. "Tak apa. Bila kamu yang menyiapkannya itu lebih dari cukup."
Kira yang sudah berbalik hendak menuju sisi lain sofa itu refleks terdiam dengan satu degup meletup bersamaan dengan pipinya yang memanas. Tak berselang lama Jin kembali membuka suara saat Kira sudah duduk di ujung sofa dekat ibunya. "Jadi Kir, bagaimana keputusanmu? Mau tinggal di rumahku atau tidak? Aku hanya tidak ingin kamu kecapekan bila harus pulang pergi, rumahmu cukup jauh loh dari rumahku."
Kira menghela menatap kedua orang tuanya yang terdiam membiarkan Kira yang memutuskan sendiri. "Sepertinya aku akan tinggal di rumahmu saja, lagipula itu hanya empat bulan."
Jin refleks tersenyum lebar. "Baiklah, aku senang mendengarnya."
"Ya sudah, aku akan mengambil pakaianku." Kira segera berdiri dari duduknya melangkah menuju salah satu ruangan yang ada di ujung. Ia berdiam sejenak sebelum membuka pintu. Hanya empat bulan kamu bisa bisa berkunjung ke rumah kapan saja jadi tenanglah. Rahasiamu pasti aman bila tidak gegabah dalam mengambil tindakan.
***
"Jadi kalian membicarakan apa saja selama aku mencari baju," tanya Kira saat mereka sudah berada di jalan yang lengang dari pengguna kendaraan bermotor, pasalnya mereka hanya menaiki sepeda pancal. Tas Kira yang berisi baju diletakkan di kerajaang sepeda yang berada di depan.
Jin tampak berpikir. "Tidak banyak. Hanya mengenai uang dan beberapa hal tentangmu." Tadi Jin sudah memberikan uang ke keluarga Kira. Mereka senang sekali akan hal itu bahkan menuji kebaikan Jin sampai-sampai laki-laki itu malu sendiri. Berterima kasih berkali-kali hingga Jin merasa tidak enak. Lagipula ia tak memberikan uang itu secara cuma-cuma. Pada faktanya ia memang membutuhkan pekerja untuk tokonya dan uang itu sama dengan gaji Kira selama empat bulan. Jadi Kira tak perlu mengembalikannya karena ia tak di gaji selama bekerja dengan laki-laki itu, sebuah hal setimpal dengan hubungan seperti simbiosis mutualisme.
"Apa saja yang kalian bicarakan tentangku?" tanya Kira penasaran. Sedikit mengeratkan pegangannya pada kemeja putih Jin saat angin datang menerpa membuat surai dan gaun putih panjangnya melayang-layang.
"Em ... Ibumu bilang kamu suka sekali membuat roti."
Ah ya ... Kira tersenyum senang. ia memang suka sekali membuat roti, itu hal yang menyenangkan. "Iya rasanya menye––"
"Beliau berkata lagi jika kamu selalu mengosongkannya," potong Jin sembari terkekeh kecil. Melihat pohon-pohon palem yang berjejer membuatnya merasa lebih tenang. Untunglah jalanan di daerah ini tidak berbukit-bukit––jika iya, pasti merepotkan saat menggunakan sepeda pancal.
Kira memdengus sebal. "Seharusnya Ibu tidak perlu menceritakan bagian yang itu."
Jin menoleh sekilas ke belakang, sayangnya ia tidak bisa melihat wajah Kira hanya kaki jenjangnya saja yang tertangkap. "Sudah terlanjur," jawabnya enteng tanpa beban.
Hening menyelimuti kala keduanya tak lagi membuka suara sebelum akhirnya Jin memecah terlebih dahulu. "Jadi, kau tidak takut tinggal berdua denganku? Kita itu seperti kutub magnet, bisa berbahaya bila terlalu dekat."
Kira yang tengah menunduk memandang aspal yang seakan ikut terbawa oleh setiap kayuhan refleks mendongak. "Tidak, karena aku percaya padamu. Kau orang yang baik, lagipula kita tidak mungkin bisa sedekat itu," Kira terkekeh kecil. Meskipun ia paham betul jika itu memang sebuah resiko, jadi kewaspadaan harus tetap dipertahankan.
Jin tersenyum lebar dan terus mengayuh dengan santai sembari menikmati embusan angin yang datang sesekali, ia tertarik dengan gadis ini. []
←→
Best Regards, Yuka.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNTU ✓
Fanfiction[ENDING] Bak terjebak dalam sebuah kotak persegi tanpa celah, Kira tak akan pernah bisa melarikan diri dari cinta dan akhir dari hidupnya sekalipun ia berusaha sekuat tenaga, karena hanya kata buntu yang masih tersisa. ↓ ↑ #2 Curse Series. 2- Start:...