42. Mirror

85 12 8
                                    

MIRROR

.
.
.

"Itu suara terakhir yang bisa aku dengar sebelumnya akhirnya aku tersadar. Aku benar-benar terkejut, ternyata aku sudah ada di rumah sakit. Dokter bilang aku koma hampir satu Minggu dan yah ... Ayah dan Ibu terpaksa berhutang pada rentenir untuk melunasi biaya selama aku dirawat. Lebih buruknya sehari setelah kasus tenggelamku Ayah di pecat dari perusahaan tempatnya bekerja karena kantor itu mengalami kebakaran akibat korsleting listrik. Hal itu benar-benar membuat keuangan keluarga semakin sulit. Sebenarnya uang yang waktu itu untuk membayar cicilan terakhir berserta bunganya."

Kira menghela sejenak, "Ibu bilang aku ditemukan oleh seorang nelayan yang sedang mencari ikan. Yah ... sayang sekali aku tidak sempat mengucapkan terima kasih. Dan soal kutukan itu, awalnya aku tidak percaya. Aku pikir itu hanya mimpi atau semacamnya tapi setelah banyak hal ganjil terjadi serta diikuti penjelasan mengenai hal-hal itu ... hah, rasanya benar-benar berat untuk percaya. Tapi ada juga hal-hal yang tidak dijelaskan. Bahkan aku masih bingung hingga sekarang. Sejujurnya aku tidak mau mengatakan ini. Tidak berani, takut juga jika kami justru merasa aneh dan menganggapku tidak waras. Aku tak memaksamu untuk percaya." Kira menoleh, tersenyum hangat dengan iris berkaca.

Jin memandang dalam. Hatinya bergolak luar biasa, rasanya benar-benar tidak masuk akal. Ia meraih jemari sang gadis lantas menggenggamnya erat. Ia tersenyum kecil. "Sejujurnya aku sudah tahu. Seharusnya kamu jujur dari awal. Tidak perlu ada rahasia diantara kita. Setidaknya kita tidak perlu bertengkar hanya untuk membuat salah satu menjauh. Kita ada untuk saling menguatkan, bukan?"

Kira terkesiap. Jantungnya bertalu hebat. Debaran yang sedari tadi tercipta kini digantikan oleh tanda tanya. "Ba ... bagaimana bisa?"

Jin menghela dalam. Laki-laki itu berdiri sembari tetap menautkan tangan. Ia menoleh. "Tidak sulit untuk mengetahuinya. Apalagi sejak hari di mana kamu merasakan rasa panas dan dingin itu. Mau dipikir bagaimanapun rasanya tetap saja ganjil. Lagipula aku pun pernah merasakan hal itu. Karena aku juga memilikinya."

Kira sontak ikut berdiri. Ia menatap tak percaya. Sungguh ini berada diluar dugaannya. "Bagaimana mungkin?"

"Yah ... kejadiannya sama saja dengan yang kamu alami. Hanya saja waktu itu aku bersama Cinta. Kita sedang berlibur ke Pantai Perco saat kunjungan pertamanya. Kami melihat gua itu juga jadi sama sepertimu kami masuk dan menemukan buku itu. Cinta yang penasaran pun mengambil buku itu. Saat aku menyadari gua yang bergetar aku segera mendorong Cinta keluar dari gua. Buku itu terjatuh lantas perlahan lenyap menjadi asap biru. Tiba-tiba aku sudah berada di tengah laut. Aku melihat Cinta berada di tepi pantai, ia terlihat panik dan berteriak-teriak. Aku berusaha berenang namun sebuah ombak menerjang hingga aku tenggelam. Sama sepertimu aku pun mendengar suara itu." Laki-laki itu menatap jernihnya air danau.

Kira menggeleng tak percaya. Mengigit kukunya resah. "Ini benar-benar mustahil."

Jin memutar badan. Menghadap gadis itu lantas menarik tangan lainnya. "Bukankah takdir kita seperti cermin? " tanya Jin sembari mengelus pelan surai gadis itu. Kira tak berkutik, hatinya serasa dijungkir-balikan. Ia mengangguk pelan. Dadanya berdebar dan resah sekaligus.

"Yang membuatku sedih karena Cinta terus menerus menyalahkan dirinya sendiri sampai sekarang."

"Apa Cinta tahu semuanya?"

"Iya."

Kira terdiam sejenak kala Jin menjauhkan tangannya. "Sejujurnya aku tidak ingin menanyakan ini. Berapa lama waktumu?"

"Sore nanti, pukul empat. Kamu sendiri?"

Kira lagi-lagi melongo. "Apa? Benar-benar kebetulan yang janggal. Aku pun sama hanya saja waktunya berbeda aku sekitar jam dua siang."

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang