9. Only The Dream

81 23 10
                                    

ONLY THE DREAM

"Mimpi? Sebuah peringatan dari sebuah ingatan."

.
.
.

"Mbak, saya beli bunga bakungnya satu ya," kata seorang pelanggan perempuan berperawakan gemuk, berjilbab hijau dipadukan gamis warna senada. Setelah berkeliling mencari beberapa bunga yang ingin ia beli––akhirnya perempuan itu memilih satu pot bunga bakung yang berada di rak kayu paling atas.

Kira mengangguk."Tunggu sebentar ya, Bu," katanya sembari meraih pot yang terisi bunga putih berkelopak lebar dan berbatang panjang itu. Agak berat ternyata. "Ini Bu, bunganya. Coba Ibu cek dulu bunganya." Kira tersenyum ramah, meletakan bunga itu di meja kasir. Perempuan itu mulai mengamati dengan teliti sebelum akhirnya ia mengangguk dan tersenyum semringah. "Bunganya bagus, terlihat segar, bersih, dan sehat. Potnya juga terlihat elegan. Jadi, berapa harganya?" tanyanya.

Kira menimang, tapi pada akhirnya ia menoleh ke arah Vino tak jauh di sisi kiri yang sedang mencatat pendapatan di ujung meja. "Vin, bunga ini harganya berapa?" tanya Kira. Jujur kira memang tidak tahu harga-harga setiap bunga.

Vino mendongak, menatap beberapa saat bunga bakung itu. "Seratus lima ribu. Di potnya ada label harganya. Coba kamu cek." Kira mengangguk lantas mengecek kertas kecil yang melekat di sisi pot keemasan bergaris-garis itu yang tertera nominal yang sama dengan yang Vino sebutkan. "Harganya, seratus lima ribu Bu." Ibu-ibu itu mengangguk lantas memberikan uang cash dengan nominal yang sama. Kira segera memberikan nota pembelian.

"Ada lagi yang ingin Ibu beli, misalnya bunga Mawar Putih. Menurut saya itu bunga yang cantik, warna putihnya juga melambangkan ketulusan." Sontak Vino menghentikan aktivitasnya. Menggeleng beberapa saat dengan senyum merekah kala mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Pipinya tiba-tiba bersemu dengan degup tak menentu.

Ibu-ibu itu menggeleng. "Tidak Mbak, makasih."

"Bunganya perlu kami antarkan kerumah Ibu atau tidak?"

"Tidak perlu, saya hanya membeli satu pot. Rumah saya juga dekat." Perempuan itu menyunggingkan segaris senyum lantas menenteng bunga yang sudah berada dalam paper bag itu. "Terima kasih atas pelayanannya."

Kira tersenyum. "Terima kasih kembali."

Kira menghela kala perempuan itu sudah membalikan badan pergi keluar toko. Gadis itu menarik kursi mendekat ke arah Vino hingga ia sudah berada di sisinya, sementara laki-laki itu hanya terdiam sedikit merasa gugup kala Kira tiba-tiba saja mendekatinya yang masih sibuk dengan apa yang ia kerjakan. Kira berdeham, "Vin, ceritakan tentang dirimu ya! Sedikit saja, aku hanya ingin sedikit mengenal latar belakangmu."

"Tentang a––ku." Vino menunjuk dirinya sendiri, semakin gugup. Ada rasa aneh yang tiba-tiba ia rasakan. Kira mengangguk,."Iya, kurasa pengetahuanku tentang dirimu terlalu sedikit."

Netra Vino menyipit, sedikit berpikir hal apa yang sekiranya perlu ia ceritakan. "Tentang diriku ya. Vino––suka kue donat. Vino tidak punya adik ataupun kakak. Hal yang paling Vino suka saat makan mi goreng dengan telur mata sapi. Kata Ibu, Vino anak yang baik. apalagi ya––rasanya hanya itu."

Kira tertawa renyah, Vino memang lugu. Bagaimana ia menceritakan dirinya sendiri terlihat tanpa kebohongan, apa adanya. "Vino pernah menyukai seseorang tidak?"

Vino menoleh, sedikit tersentak kala mendapati Kira yang bertopang dagu di sampingnya menatap penuh rasa penasaran sontak laki-laki itu kembali menatap lurus ke depan dengan debaran dan pipi memanas kala netra mereka saling bertabrakan barang beberapa detik, sementara Kira hanya terdiam dengan setitik rasa gugup. Vino melipat bibir sebelum akhirnya kembali bersuara. "Vino menyukai semua orang, agak sulit bila harus memilih salah satu," jawabnya tak yakin.

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang