28. Kiss for Love in My Pain

111 14 8
                                    

KISS FOR LOVE IN MY PAIN

.
.
.

Kira membuka mata.

Refleks menyipitkan netra kala merasakan tusukan kecil di keningnya yang berdenyut-denyut. Kepalanya pening dan nyeri bukan main. Ia merintih pelan, berusaha duduk secara perlahan. Meneken kecil sisi keningnya. Rasa pusing terus menjalar. Kira memejamkan mata sembari menggeleng. Mengerjap beberapa kali lantas memandang sekitar. Sontak terbelalak kala ia menyadari dirinya tengah berada di kamar sang bos. Oh ... astaga! Apa yang terjadi denganku?

Kira menghela dalam. Memori beberapa saat lalu masih terbayang, sungguh ia takut sekali. Rasa panas ataupun dingin sudah menghilang. Tubuh Kira sudah kembali seperti semula, tetapi bekas ketakutannya belum bisa pudar.

Hampir saja Kira memekik kala ia mendapati Jin yang tengah duduk sembari membaca novel di sofa tak jauh darinya. Rasa-rasanya ada biji salak yang menyumbat tenggorakan kala gadis itu hendak membuka suara––tercekat penuh keterkejutan. "Ji––Jin. Kenapa aku bisa di kamarmu?"

Jin buru-buru mendongak dengan satu sentakan––ia langsung menaruh asal novelnya di sofa dan berlari menghampiri sang gadis. "Kamu sudah sadar? Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa lebih baik? Apa yang sakit? Perlu aku ambilkan air atau sesuatu?" tanyanya bertubi-tubi saat ia masih melangkah––terlihat begitu cemas.

Kira terkekeh pelan dengan suara lirih dan serak, "Aku baik-baik saja. Tubuhku sudah kembali normal. Hanya saja kepalaku agak pusing."

"Perlu aku pijit?" Kini Jin sudah duduk di sisi ranjang. Menghadap gadis itu. Sontak Kira menggeleng cepat. "Ah ... tidak perlu, nanti juga sembuh sendiri. Ngomong-ngomong apa yang terjadi? Kenapa aku bisa ada di sini?"

Jin berdeham sekilas, "Kamu pingsan. Syukurlah kamu tidak kenapa-kenapa. Aku terlalu panik, jadi aku langsung membawamu ke sini. Maaf, ya."

Kira mengangguk memahami. Kadang kala rasa panik mendesak hal yang pertama kali terlintas jelas akan lebih cepat untuk digerakan sekalipun itu bukan opsi terbaik yang bisa ditemui. Kira tersenyum samar.  "Terima kasih."

"Untuk apa?"

"Karena sudah membawaku kemari dan ah ... apa?!" Kira refleks memekik kala menyadari bajunya sudah berganti menjadi sweater biru tua kebesaran––sontak ia memaku dengan bibir terbuka dan mata melebar, ia yakin ini baju Jin. Dalam sekejap rasa panas menjalar dari pipi hingga telinga. Rasanya ia baru saja di rebus hidup-hidup. "Ji ... Jin, ka ... kamu yang mengganti pakaianku," tanya Kira dengan lidah kelu. Rasa-rasanya Kira sudah tak berani lagi untuk menampakkan diri. Kira segera menarik selimutnya sampai dada. Ah ... menyebalkan. Ia malu sekali, sungguh. Hatinya juga ikut bergolak tak nyaman.

Jin menghela, berdeham sebentar, "Ya  ... begitulah, habisnya mau bagaimana lagi," jawabnya berusaha tak acuh. Namun, pipinya tiba-tiba saja merona. Yah ... laki-laki itu juga tak bisa berbuat banyak.

Jin terlalu banyak berpikir hingga keputusan ditetapkan kelewat cepat. Ia lebih memilih mengambil sweater untuk dikenakan Kira bukannya mengambil baju gadis itu yang berada di kamar. Jin hanya berpikir Kira segera berganti pakaian agar tubuhnya hangat daripada kelamaan mencari baju gadis itu, atau mungkin itu hanya sebuah alasan kecil? Jin punya lebih banyak hal di kepala dalam mengambil keputusan. Pasti ada hal lain. Mungkin agar gadis itu tetap merasakan kehangatan dirinya sekalipun hanya melalui helaian benang yang saling terikat menjadi sebuah benda.

Kira membatu sebelum akhirnya pecah menjadi kepingan. Harga dirinya seakan sudah dileburkan. Jantungnya seakan jatuh ke dasar perut hingga terasa seperti berhenti berdetak selama beberapa saat dalam tekanan. Astaga! Yang benar saja. "Jinnn! Kenapa kamu melakukan itu. Berati kamu sudah melihat semuanya. Aku malu sekali. Kamu jahat. Lalu bagaimana ini. Tu ... tubuhku sudah terekspos sepenuhnya," rengek Kira sembari menagkup wajahnya dengan telapak tangan. Ah ... sial, memalukan sekali.

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang