33. Something New?

47 13 5
                                    

SOMETHING NEW?

.
.
.

Pagi, siang, sore ataupun malam mungkin terasa sama setiap harinya. Namun, perasaan dalam diri akan dapat mengubah sesuai sudut pandang orang yang mengalaminya.

Kira tahu malam harinya memang dipenuhi hal-hal yang berbeda, antara mimpi dan kenyataan. Namun, jika malam ini seharusnya ia memerlukan tidur––Kira lebih memilih untuk menangis. Mengapa? Karena ia ingin. Itu saja.

Kamar yang terasa sunyi dengan remang lampu yang menemani. Kira hanya berharap pagi nanti semuanya akan baik-baik saja. Ia bisa pulang dengan hati yang lega. Bersamaan dengan setiap kata yang tertoreh gadis itu berharap ia tak pernah bertemu dengan laki-laki yang suka sekali membanggakan diri itu.

"Kir, kamu melamun?"

Kira tersentak. Refleks menoleh dan mendapati laki-laki dengan manik sehitam kopi yang tengah memandangnya resah. Kira tak menjawab. Ia segera berdiri dari kursi di ruang utama lantas melangkah pergi.

Jin tak menampik kala rasa bergetar berbalut perih kian menghampiri. Ia hanya bisa menghela dengan hati yang bergerumbul penuh tanya. Ada apa dengan Kira? Sejak beberapa hari yang lalu sikapnya tak berubah. Dingin dan kaku bak es batu. Jin hanya berharap jika gadis itu baik-baik saja. Tak masalah jika Kira marah padanya. Namun, setidaknya ia harus tahu apa alasannya.

Sejak pagi Kira terus melamun. Tak banyak bicara, apalagi hanya sekadar untuk tertawa. Cinta dan Jin sama-sama cemas tapi apa yang bisa mereka berdua lakukan jika point utama kemarahan itu juga tak kunjung di buka oleh si pemilik raga.

Jin masih berdiri di titik yang sama, di samping kursi yang Kira duduki akhirnya bergerak––melangkah untuk kembali menghampiri Kira yang tengah berdiri di depan jendela penghubung antara rumah dan toko. Netra merpati itu memaku padangan pada sesosok laki-laki ceria yang tengah melayani beberapa pelanggan. Vin ....

"Kir kamu kenapa? Tidak bisakah kamu memberi penjelasan atas sikapmu?"

Kira menghela dalam sebelum akhirnya berbalik badan. "Nanti aku akan pulang. Aku senang bisa bersama kalian semua. Semuanya banyak berubah, bukan? Begitupun Vino yang menjadi lebih dewasa. Aku senang dengan itu. Aku juga menyayangi Cinta seperti adikku sendiri. Jagalah adikmu dengan baik Jin ... dan untukmu. Ingatlah aku tak pernah membencimu sekalipun takdir memang terasa begitu pahit." Kira melanjutkan, "Nanti kamu pasti akan mengerti alasannya. Sekalipun tidak, itu juga tidak apa-apa. Jin, aku mau mengambil tasku. Yah .... Sepertinya ... waktunya untuk pulang." Kira melangkah menuju kamarnya. Pulang untuk selamanya.

Di tengah perjalanan sebuah pelukan terasa. Iris Kira sontak menyayu. "Cinta ...."

Cinta mengeratkan pelukannya dengan pipi yang sudah memerah. "Kak Kir jangan pulang, ya. Kalau mau pulang Kakak harus sering-sering berkunjung ke sini," rengeknya.

"Kakak usahakan." Meskipun itu mustahil.

"Kakak mencintai Kak Jin atau tidak?" tanyanya pelan.

Kira memejam. Cin, kenapa kamu harus menanyakan itu? "Cin, Kakak tidak pernah berpikir untuk menyukai seseorang karena aku tak akan bisa mendapatkan hal-hal seperti itu. Jadi, untuk Jin dia sudah cukup banyak masuk dalam hidupku, merusak dan memperbaiki dan aku menghargainya sebagai bosku tidak lebih." Mungkin Kira berdusta atau mungkin juga tidak. Mengapa ia harus memiliki rasa untuk Jin? Pada kenyataannya itu memang tak diperlukan.

"Bagiamana dengan Kak Vino?" tanyanya lagi.

Kira berbalik––memandang penuh arti sang lawan bicara. "Sama saja. Aku menganggapnya seperti adikku sendiri. Adik lucu, menyenangkan, dan ceria," Kira terkekeh pelan lantas melanjutkan, "Kamu berharap aku mencintai salah satu, ya?"

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang