YOUR EYES
.
.
.Tadi malam badai salju tiba-tiba menghantam.
Lucu sekali, apa ini candaan? Ayolah sekarang musim panas dan sejak kapan Indonesia dituruni butiran salju, ini negara tropis tapi mungkin badai itu benar-benar terjadi dalam mimpi atau sebuah tempat imajinasi.
Tetapi bagi Kira hal itu benar-benar terjadi. Yah ... bukan tentang gumpalan putih dingin yang biasa digunakan untuk perang. Melainkan kedinginan yang menyelimuti kala keduanya tak membuka pembicaraan apapun. Enggan untuk saling menatap dan kesal satu sama lain. Mereka bak dinamit yang akan meledak bila kedua iris itu saling bersinggungan. Keduanya bergelut dengan kecanggungan dan saling menghindar. Badai itu terjadi dalam ilusi, menjadi sebuah perang tanpa saling menyakiti sekalipun mengorok setiap kepingan hati tanpa henti. Perang dingin keduanya barangkali akan terus berlanjut hingga salah satu mengalah lantas menyudahi.
Menyisakan Cinta yang memandang dengan tatapan menggebu-gebu––kesal bukan main. Bila keadaannya seperti itu Cinta juga tidak mau melontarkan apapun, mungkin juga tidak akan di respon dengan baik. Jadi, ikut terdiam adalah opsi terbaik, menyebalkan.
Sayangnya itu bukan hanya terjadi tadi malam. Waktu sarapan pun juga tidak ada bedanya tetapi Kira berniat mematahkan segalanya hari ini. Ia sudah tidak tahan.
Kenapa terus seperti itu? Bersiklus. Berulang-ulang, memutar-mutar hingga Cinta benar-benar merasa jengah. Tidak bisakah mereka membicarakan dengan baik? Oh ... tentu tidak. Ia baru sadar sekarang. Mana mungkin kakaknya itu akan mengaku jika ia marah terbakar api cemburu. Apalagi tepat di depan Kira––orang yang menjadi sumber utama rasa egois itu berkembang. Rasanya mustahil.
Mereka semua tidak ada. Itu hanya gambaran dalam kepingan ingatan saja. Ah ... tidak juga. Waktu terus berputar hingga hari semakin siang dan seperti biasa Vino bersama dengan Kira berkerja keras, penuh akan semangat. Tetapi untuk beberapa hari ini rasanya mood Kira mengambang––bisa naik, bisa juga turun. Penuh dengan berbagai hal yang mengganjal. Ia hanya kesal. Bukan kemarahan besar, mungkin jika dalam keadaan tertentu rasa mengganjal itu akan musnah secepat satu kedipan mata.
"Terima kasih, Kakak." Kira tersenyum hangat kala seorang wanita cantik berambut panjang bercat pirang baru saja membeli bunga krisan putih. Wanita itu mengangguk dengan seulas senyum sebagai balasan lantas memutar langkah keluar toko sembari membawa bunga itu.
Kira menghembuskan napas. Berkacak pinggang meregangkan badan guna meredakan rasa lelah. Hari ini cukup banyak yang datang, beberapa juga sangat cerewet dan banyak mau tetapi itu bukan masalah lagi. Tugasnya sudah selesai.
"Kira sepertinya lelah sekali?" tanya Vino yang berdiri di samping Kira––bersender pada pinggiran meja. Melihat Kira yang tampak letih, namun tetap cantik. Yah ... Vino selalu mengingat jika Kira itu istimewa. Seperti kemarin kala ia bertanya pada gadis itu apakah menyukainya juga tetapi justru gagal karena Kira mengalihkan dan di rumah laki-laki itu jadi kepikiran dan bimbang sendiri. Ingin bertanya lagi tetapi Vino malu. Jadi, apa yang harus Vino lakukan?
Kira menoleh dengan tatapan melembut, ah ... ia menyukai bagaimana laki-laki di sampingnya itu ketika membuka suara––terdengar polos dan lucu––memberikan sensasi tersendiri tetapi tentang hidup ia tak harus mempertanyakan banyak hal karena ia paham di hidupnya rasa suka itu bukan segalanya. Apalagi jika ia tak dapat bertahan lebih lama. Jadi, ia akan berusaha menjaga hatinya agar tak termasuki racun apapun. Termasuk laki-laki itu ataupun Jin. "Lelah akan terbayarkan dengan kesenangan saat para pelanggan terlihat puas," Kira tersenyum tipis, kembali menoleh menatap lurus secara kosong rak kayu tinggi yang di singgahi bunga lily di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNTU ✓
Fanfic[ENDING] Bak terjebak dalam sebuah kotak persegi tanpa celah, Kira tak akan pernah bisa melarikan diri dari cinta dan akhir dari hidupnya sekalipun ia berusaha sekuat tenaga, karena hanya kata buntu yang masih tersisa. ↓ ↑ #2 Curse Series. 2- Start:...