1. Rain of Sorrow

1.3K 72 6
                                    

RAIN OF SORROW

.
.
.

Mengayun pedal sepeda lebih cepat kala guntur terdengar bersahutan. Langit menghitam dengan selimut awan yang menggumpal, angin bertiup kencang membuat surai hitam legam itu melayang-layang. Kabut juga ikut mengaburkan pandangan. Kilat beberapa kali menyambar, menerangi langit dalam beberapa sekon kala matahari sudah tertutupi sepenuhnya, cahayanya tak dapat menembus awan yang merapat bak perisai.

Laki-laki dengan kaos putih polos itu, Jin––menatap langit yang semakin menghitam. Kembali berfokus pada jalan kecil yang sepi tanpa hiruk-pikuk yang biasa terjadi. Kebanyakan orang pasti lebih memilih berada di rumah sembari meminum segelas kopi atau bersantai-santai––berselimut di ranjang dan tertidur pulas. Berbeda dengannya yang harus mengantarkan beberapa pesanan bunga pada cuaca tak mendukung seperti ini.

Satu guntur kembali terdengar, sangat keras hingga ia memejam beberapa saat. Angin kembali bertiup menciptakan rasa dingin yang menusuk kulit. Laki-laki itu terus mengayuh kala rintik hujan perlahan berjatuhan––halus dan tipis, bahkan tak terlihat tetapi begitu rapat. Menguyur bumi yang kehausan kala matahari terus memberinya sengatan panas. Rintik besar menyusul menetes di kulit lengan laki-laki itu––menempel di kaos hingga terasa sedikit basah. Ia tak berhenti dan terus mengayuh melewati setiap jengkal jalan yang ditumbuhi banyak pohon palem dan beberapa pohon beringin yang daunnya bergerak kecil tertiup angin di sisi jalan.

Rintik semakin deras hingga terdengar suara yang bising tetapi menenangkan. Kabut yang tadinya bergentayangan perlahan memudar.

Sial.

Jin terus mengayuh kala hujan benar-benar sudah mengguyurnya hingga basah. Beberapa tetes jatuh dari ujung rambutnya. Pengelihatan tak berfungsi dengan baik kala titik-titik air mengembun di bulu mata, mengalir dari dahi menuju sudut bibir. Kaosnya menempel di kulit yang terasa benar-benar mendingin––rasa-rasanya darah tak lagi bisa menaikkan suhu tubuh dengan lebih cepat. Ia basah kuyup––beruntung rumahannya tak jauh lagi.

Kayuhannya semakin melambat kala mendapati presensi seorang gadis yang tengah melangkah pelan di trotoar. Ia menyipit––mencoba mendekat, semakin terlihat jelas. Gadis itu mengigil sembari melipat tangan di dada guna menyeka rasa dingin. Jin tak berniat untuk menghampiri atau sejenisnya, tetapi kala ia mendekat dan mendapati gadis itu tengah menangis, satu titik rasa iba menjalar. Pada akhirnya ia memilih untuk menghentikan sepedanya tepat di samping gadis itu.

Jin menyeka air yang mengalir di wajah dengan tangannya. "Kenapa kamu ada di tengah jalan pada saat hujan seperti ini sambil menangis?"

Gadis yang sedari tadi menunduk sambil berjalan amat pelan itu refleks berhenti, menoleh sebelum padangan bingung ikut menyertai. "Kamu siapa? Kita tidak saling mengenal, 'kan?" Gadis itu mengernyit, sulit untuk melihat kala hujan terus menerpa wajah dan matanya. Jelas ia terkejut kala seseorang menghampirinya dan menanyakan hal demikian. Jika diingat-ingat lebih dalam, ia bahkan tak pernah bertemu laki-laki di sampingnya itu. Bagaimana jika orang jahat. Kemungkinan apa pun bisa terjadi. Ia tak boleh mudah percaya.

Jin menggeleng dengan raut berubah panik. "Tidak. Kita tidak saling mengenal. Aku juga baru pertama kali melihatmu. Aku Jin," Jin menjeda. Terdiam sejenak sebelum satu simpul senyum tertarik, "Tenang saja, aku bukan orang jahat, kok. Aku hanya––emmm ... khawatir saat melihatmu menangis di tengah hujan seperti ini––bukan hal yang baik untuk dilakukan."

Gadis itu terdiam beberapa saat, mengelus lengannya yang semakin dingin dengan tubuh yang tak berhenti bergetar. Ia buru-buru menyeka air mata kala menyadari tangisnya belum mereda. "Kamu orang asing. Aku tidak bisa menjelaskan apa pun. Hanya saja beberapa hal cukup membuatku tertekan."

"Kalau begitu, di mana rumahmu? Biar aku antar pulang."

"Eh––tidak perlu. Rumahku jauh dari sini. Aku tak ingin merepotkan."

"Kalau ke rumahku saja bagaimana? Tidak terlalu jauh dari sini kok. Tenang saja, aku bukan orang jahat. Aku hanya tak ingin melihatmu luntang-lantung seperti ini di jalanan, berbahaya. Sebentar lagi sore dan hujan mungkin masih lama untuk mereda. Di sini tidak ada tempat untukmu berteduh."

Gadis itu berpikir sejenak. Apa yang dikatakan laki-laki itu memang sebuah kebenaran. Ia juga sudah tidak tahan dengan rasa dingin yang menyerang. Kepalanya bahkan terasa pusing. Bergerak menghadap sang lawan bicara yang menopang sepeda dengan sebelah kaki yang menjulur di aspal. Agak ragu untuk membuka suara, agaknya rasa malu tiba-tiba menyelimuti kala laki-laki itu justru tersenyum untuk meyakinkan. Pada akhirnya gadis itu mengangguk.

"Ayo naik!"

Dengan ragu gadis dengan pakaian hitam itu berjalan mendekat menuju arah belakang dan duduk dengan ragu.

"Pegangan ya! Kamu tahu, jatuh di aspal tak seenak jatuh di pangkuanku."

Jin mulai mengayuh sepeda bercat biru miliknya dengan cukup cepat. Refleks sang gadis melingkarkan tangannya di pinggang hingga perut laki-laki itu. Di tengah mengayuh pikiran Jin mendadak berkelana––ada setitik debar dan rasa malu yang ia rasa kala rangkulan itu mengerat. Sementara sang gadis memejamkan mata dan menunduk menghalau titik hujan dengan pipi memerah––saat rasa dingin itu perlahan digantikan kehangatan.

"Sebenarnya kamu siapa? Aku tidak semudah itu untuk percaya." Ada geleyar tidak enak saat mengatakan itu, tetapi sungguh––gafis itu penasaran.

"Aldwin Jino Javier. Hanya manusia biasa yang berusaha berbuat baik dikala ia masih bisa," Jin terkekeh pelan. Sementara gadis itu hanya mengangguk dalam diam––yang pasti laki-laki itu tak dapat melihatnya.

Gadis itu tak lagi membuka suara, fokus pada pikirannya. Kuharap kamu hal yang manis bukan sesuatu yang berubah sadis. []

←→

Hello everyone, welcome to my universe. Hope you'll enjoy with story.
Best Regards, Yuka.

TBC.

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang