8. Which?

90 25 7
                                    

WHICH?

"Pikiran mungkin memilih secara logika tapi hati tak mungkin berdusta."

.
.
.

"Pagi-pagi begini kenapa ada di sini?"

Kira sontak menoleh, terkejut kala mendapati prensensi Jin berada di belakangnya. Ada degup tak nyaman yang merambat kala jarak mereka yang cukup dekat. Membuat sentilan kecil yang seakan menarik setitik desiran di dada tapi lebih dari itu Kira menahan napas seakan oksigen cukup sulit untuk masuk ke dalam paru-paru, sebuah getaran baru. "Menunggu vino." Mengalihkan pandangan––kembali menatap jendela besar yang menempel kokoh. Jendela yang langsung memperlihatkan emperan toko. Berada di ruang tengah.

Jin refleks membeku dengan degupan yang mencubit, ia tak terlalu menyukainya. "Bukankah masih lama? Toko buka sekitar jam tujuh. Masih sekitar setengah jam lagi. Kenapa kamu menunggunya?" Ada geleyar tak suka. Pagi ini cukup aneh kala ia melihat Kira yang lumayan lama berdiri di sana dari pintu ruang tamu yang terbuka. Membuat ia penasaran dan akhirnya menghampiri tapi jawaban yang ia dapat tak cukup memuaskan. Namun, sedikit menggelitik hati yang meradang tak suka.

"Hanya ingin, kemarin ia terlihat sedih aku cukup khawatir." Bukan, bukan tentang rasa tapi lebih seperti kamu melihat adikmu sedang bersedih dan itu membuat hati jadi merasa tak senang.

"Kamu menyukainya?"

Kira berbalik hingga kedua netra yang berbeda itu bertabrakan secepat mesiu terlontar. Iris bulat bertemu dengan pupil setajam merpati. Refleks Kira menunduk dengan degup menggila lantas menggeleng. "Tidak."

Sudut bibir Jin tertarik. "Kamu yakin? Aku rasa kalian cocok bila bersama."

Kira terbelalak lantas memandang lawan bicaranya itu dengan tatapan sulit diartikan. Tersirat banyak makna antara keterkejutan dan rasa sakit bercampur tetesan tak rela. "Begitu ya? Jangan mudah menyimpulkan, pemikiran kadang memilih logika yang nyata dan konkrit tapi hati tak pernah berdusta, Jin."

Jin termangu menatap dengan sayu. Ia tak begitu paham apa yang Kira maksud tapi tak ingin berpikir lebih rumit. Ia mendekat satu langkah, refleks Kira mundur dengan sorot tak mengerti. Ada perasaan takut dan was-was yang tiba-tiba menggerogoti. Jin tersenyum kecil, menunduk mensejajarkan wajahnya dengan Kira. "Kamu tahu hatiku juga tak berdusta saat melihatmu, karena kamu memiliki arti lebih, Kir."

Kira menelan saliva ia meremas kuat-kuat ujung dress putihnya. "Ka––mu ingin diriku?"

Jin terkekeh pelan lantas kembali berdiri dengan tegak, mengacak pelan surai Kira hingga gadis itu membeku, ia merasa dipermainkan, menyebalkan. Sungguh. "Tidak, tapi mungkin suatu saat akan berubah menjadi, iya. Tapi aku senang karena kamu mempercayai sebagai orang yang baik."

Kira mengalihkan pandangan ke sisi kiri menatap pot yang terisi bunga anggrek. "Tapi kamu tetap saja laki-laki, seperti seekor harimau yang akan menerkam kala mangsanya lengah, barang sedikit saja." Cukup menusuk tapi Jin hanya menghela, "Aku mengerti kekhawatiranmu dalam konteks itu, tapi tenang saja aku masih bisa mengontrol diri kok."

"Kamu harusnya tidak merusak pagi ini dengan percakapan yang sedikit memanaskan naluri," Jin mendengus lantas melangkah menuju sofa hitam yang berada tak
terlalu jauh. Ia segera duduk menyilang kaki, menatap Kira dengan raut setengah kesal.

Kira menoleh, bersedekap dada dan menatap Jin dengan netra setajam merpati itu. "Kamu yang memancingku. Selalu saja membuatku berpikiran yang aneh-aneh," Kira mendengus sebal.

Kekehan kecil terlontar, tapi aku menyukainya.

"Itu kan tidak sengaja, aku hanya berkata apa yang ada dipikiran saja."

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang