6. Begin to Seen

110 25 4
                                    

BEGIN TO SEEN

"Rasanya sakit, tapi ini resiko yang paling kecil."

.
.
.

Terlihat sama seperti dirinya.

Perlahan menyentuh pantulan dirinya di cermin, mengusap pelan benda bening itu dengan perasaan tak keruan––terasa licin dan dingin. Gadis berkaos hitam panjang itu menunduk dengan berbagai ketakutan yang menghantam. Ketakutan kala ia benar-benar akan pergi dari dunia lantas menjemput kehidupan baru yang tak pernah ia tunggu untuk saat ini. Menghela mencoba setegar yang ia bisa, meskipun denyut tak rela––menuntut sebuah keadilan dari Yang Maha Kuasa kian terasa.

Keheningan menyelimuti seisi kamar mandi, kecuali air dari keran yang mengalir tiada berhenti. Kira menurunkan tangannya yang masih menempel di cermin lantas menadah air yang mengalir. Terbelalak hingga satu degup menghantam membuat jantungnya seakan tenggelam. Ia terdiam dengan raut takut kala tangannya berubah menjadi sebening air. Kenapa semakin parah? aku harus bagaimana? Rasa panik melanda bersamaan dengan satu getar yang merambat perlahan membuat irisnya berkaca-kaca.

Kira segera menarik tangannya yang berubah sebening air dengan kilatan putih yang mengalir. Ia bisa bernapas lega kala tangannya perlahan kembali seperti semula. Sekarang apa lagi? setelah hujan sekarang berubah seperti air lalu selanjutnya akan separah apa?

Helaan berat bercampur nada frustasi tercelos beberapa kali. Ia hanya punya sedikit waktu untuk mengembalikan semuanya seperti semula tapi rasanya begitu sulit. Sesak semakin terasa––Kira mati-matian berusaha menahan tangisnya. Ia tidak boleh menangis.

Mengembuskan napas berkali-kali akhirnya Kira memilih keluar dari kamar mandi. Tak ada siapapun di dapur kala ia sudah berada di luar. Kira celingukan lantas pergi menuju ruang keluarga. Masih tidak ada siapapun kecuali televisi yang dinyalakan menghamburkan keheningan.

"Kir, mau ikut bersamaku tidak?"

"Anak ayam terjep––" latahnya. Refleks Kira memegang dada yang serasa tersentak. Mengambil napas lantas menoleh dan mendapati Jin yang tengah tersenyum kikuk di ambang pintu ke ruang utama.

"Maaf, aku tak bermaksud mengagetkanmu." Laki-laki berkemeja putih itu terkekeh pelan. Tapi lucu juga melihatmu seperti itu.

Kira terdiam beberapa saat kala setitik rasa panas menyebar, Kira kau memalukan sekali. "Ikut kemana?" tanyanya.

Sudut bibir Jin menyimpul beberapa saat. "Emm ... menemaniku membeli sesuatu." Jin melangkah mendekat.

"Boleh."

"Ayo kalau begitu." Refleks Jin menarik tangan Kira menuju dapur sementara gadis itu hanya terdiam mengikuti langkah laki-laki itu sembari menahan debaran yang tiba-tiba saja tercipta. "Kenapa kita ke dapur?" tanya Kira keheranan.

"Kita lewat pintu belakang, aku sudah bilang sama Vino untuk menjaga rumah dan toko selama kita pergi. Oh ... kamu tadi kenapa lama sekali di kamar mandi?" Jin membuka pintu yang di maksud––berwarna coklat mengkilap berada di sudut dapur dan menjurus keluar rumah yang langsung memperlihatkan taman belakang yang terlihat begitu hijau dengan banyaknya bunga dan tanaman hias.

Kira berpikir beberapa saat, bingung kala harus memberikan jawaban. "Aku tadi buang air besar makannya agak lama." Cukup memalukan sebenarnya bila harus beralasan seperti itu tapi ia tak punya banyak hal yang terlintas yang lebih baik untuk berkelit.

Jin mengangguk dan terus menarik Kira hingga melewati taman itu hingga berhenti di suatu ruangan yang berada di sisi taman. Bisa di bilang itu sebuah garasi. Jin menoleh dan melepaskan genggamannya, membuka gerbang garasi yang langsung memperlihatkan beberapa motor dan mobil yang berjejer rapi. Refleks Kira menutup mulut tak percaya jika bos-nya itu memiliki banyak sekali koleksi otomotif.

"Hari ini kita naik motor saja, ya? Perjalanan agak jauh dan cukup melelahkan bila harus menggunakan sepeda."

Kira hanya terdiam, masih mengumpulkan beberapa keping kesadaran. Jika Jin memiliki banyak sekali koleksi otomotif kenapa ia memilih naik sepeda untuk bekerja?––rasanya aneh.

"Kir, ayo naik." Kernyitan tercetak kala mendapati Kira yang masih terdiam sebelum akhirnya gadis itu berkedip beberapa kali lantas mengangguk. "Pakai helm-nya." Jin menyodorkan helm hitam pekat yang langsung diterima oleh gadis itu. Kira segera memakainya lantas duduk di jok belakang. Jin segera menyalakan mesin motor dan melaju dengan kecepatan sedang.

"Jin, Kenapa kamu lebih memilih naik sepeda pancal dari pada naik motor atau kendaraan lainnya?" tanya Kira saat mereka berada di tengah jalan. Tapi yang ia dapat hanya kekehan samar laki-laki itu. "Hanya ingin menikmati hidup. Menggunakan sepeda pancal akan mengurangi polusi, lagi pula perjalanan juga akan terasa lebih menyenangkan dan dapat dinikmati karena sepeda pancal tidak berisik." Kira diam-diam menyunggingkan senyum––cukup kagum dengan laki-laki itu.

"Kita mau kemana?"

"Ke toko jam," jawab Jin dengan nada senang sementara Kira hanya mengangguk samar. Untuk apa Jin ke toko jam, apakah hadiah untuk seseorang? Memangnya siapa yang berulang tahun?

***
Jin dan Kira melangkah memasuki toko yang penuh dengan berbagai model jam dari model kekinian, klasik hingga yang antik. Para pegawai pun langsung menyambut mereka dengan ramahnya, serta senyum yang tak luntur.

Kira masih dipenuhi rasa penasaran sementara Jin langsung memilih-milih rentetan jam yang terpampang di dalam wadah berbentuk kaca. Ada juga jam-jam besar yang dipasang di dinding tapi rasanya Jin lebih tertarik dengan jam tangan.

"Mas, Jam yang ini ya?" Jin menunjuk salah satu jam kuning keemasan dengan hiasan berlian di tengahnya, mewah dan mencolok. Mas-mas yang ada di sana pun segera mengambil jam itu dan membungkusnya.

"Kebetulan sekali jam ini memang sedang digandrungi anak muda jaman sekarang. Masnya nggak salah pilih. Di jamin nggak nyesel," kata mas-mas itu sembari membungkus jam itu dengan rapi.

Jin terkekeh dan mengangguk. "Katanya memang begitu, tapi ini permintaan seseorang jadi saya hanya membelikan apa yang ia minta. Jadi, berapa harganya."

"Sepuluh juta mas, karena ini keluaran terbaru."

Kira terdiam kala mendengar percakapan itu, jam itu permintaan seseorang dan harganya cukup mahal Kira yakin jika orang itu pasti spesial untuk laki-laki itu dan yah ... gadis itu merasa ada yang cukup menganggu hatinya, sebuah perasaan tidak nyaman.

Jin hanya mengangguk dan segera menyodorkan black card miliknya sementara Kira hanya mengamati interaksi keduanya sebelum mengalihkan pandangan melihat toko yang ramai akan pengunjung.

"Makasih Mas datang lagi ya." Mas itu tersenyum senang sementara Jin hanya tersenyum dan mengangguk sebelum akhirnya menepuk pelan pundak Kira hingga gadis itu menoleh dengan cepat. "Ayo pulang," ajak Jin. Kira hanya mengangguk dan mengikuti langkah laki-laki itu dari belakang. Sembari teringat dengan jam itu yang merupakan permintaan seseorang––yang pastinya seorang perempuan.

←→
B

est regards, Yuka

TBC.

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang