41. Fact

67 11 2
                                    

FACT

.
.
.

Gadis itu benar-benar resah.

Fakta yang laki-laki ceria itu beberkan nyatanya benar-benar melilit dada. Apa yang sebenarnya terjadi? Kesulitan apa yang tengah bosnya itu hadapi? Dan bagaimana keadaannya detik ini? Kira benar-benar bimbang. Ia ingin sekali bertemu dan menanyakan banyak hal, tapi setelah apa yang ia lakukan tempo hari rasa-rasanya gadis itu tak berani menampakkan diri di hadapan laki-laki itu lagi.

Gadis itu memejam dengan kepala mendongak. Merasakan angin yang membelai kulitnya tanpa henti. Ia merasakan dadanya begitu sesak dan semakin sesak. Ia menghembuskan napasnya sebelum akhirnya perlahan membuka mata. Irisnya pun kian mendapati daun-daun pohon yang meliuk pelan terpampang berdampingan dengan sorot mentari yang menyembul diantara celah-celah yang bergeser.

Rasanya Kira jadi semakin tak menentu kala kakinya kembali menginjak rerumputan sesegar jus lemon itu lagi. Di kejauhan air danau tampak berkilat-kilat. Gadis bergaun putih berenda itu tersenyum sekilas, kembali melangkahkan kaki menuju bangku yang kini belum terlihat sama sekali. Yah ... hari ini hari akan menjadi hari yang cukup––ah .... sangat sulit untuk dijelaskan.

Sejujurnya Kira hanya ingin mampir sebentar kemari. Mengenang hari bersama semua orang yang sudah terpatri dalam hati––terutama si dia yang benar-benar membuatnya tak dapat berpikir lagi. Setelahnya ia akan pulang dan kembali pergi.

Orangtua Kira pun semuanya ada di rumah menunggunya kembali. Ia sudah izin. Tentu semuanya harus lengkap untuk mengantarnya, agar gadis itu lebih tenang, bukan?

Gadis itu sontak stagnan kala mendapati sesuatu yang tak ingin ia jumpai. Tepat 7 langkah di depannya, seseorang tengah terduduk di bangku kayu itu. Hati Kira mendadak bertalu hebat. Mengigit bibir begitu resah. Aku harus bagaimana? Kembali atau menemui?

Tapi, Kira tetap memilih melanjutkan langkah dan tepat satu langkah di balik laki-laki itu ia berhenti. Menatap sendu dengan rasa yang tercabik-cabik. Tangannya terulur pelan, hendak menyentuh surai hitam lengam itu. Namun Kira kembali berpikir. Ini bukan waktu yang tepat. Ia sudah berusaha keras, ia tak boleh mengacaukannya. Mau tak mau gadis itu kembali menarik tangannya. Tersenyum tipis sebelum akhirnya membalik badan. Ia lebih memilih untuk pulang.

Iris gadis itu melembar, tubuhnya membeku. Satu degup tiba-tiba memukul kala suara berat itu mencelos melewati gendangnya, "Aku merindukanmu, Kira."

Kira sontak menunduk. Menggigit bibir dengan iris hendak berkaca. Ia mengepalkan tangan. Hatinya berdebar kencang namun terasa begitu sakit. Sekalipun kakinya gemetar bak menginjak sebuah tali tipis––ia berbalik badan sembari menatap sendu. Kira tak bisa menahannya lebih lama lagi. "Aku juga merindukanmu, Jin," balasnya penuh rasa.

Kira masih di tempat. Tersenyum tipis kala laki-laki itu sontak berdiri lantas membeku, menatapnya penuh akan keterkejutan. Jin sampai-sampai tak berkedip selama beberapa saat sebelum akhirnya menelan saliva dengan hati yang rasanya hendak melompat dari tempat. "Ki ... Kira," ujarnya bergetar.

Tiba-tiba saja angin berhembus pelan menerbangkan surai dan busana keduanya. Gadis itu tersenyum canggung, "Ha ... hai. Bagaimana kabarmu?" tanyanya gugup, gugup sekali sembari melambaikan tangan. Namun, apa? Laki-laki itu sepertinya belum sepenuhnya tersadar dari keterkejutannya sehingga tak membalas sapaan gadis itu dan tetap menatapnya kaku.

Kira terkekeh pelan. Melangkah mendekat. Ia mungkin takut tapi Jin jadi lebih menggemaskan dengan raut menengang begitu. Ayolah ... gadis itu bukan hantu atau sejenisnya. Ia hanya manusia biasa yang punya beberapa kisah kecil bersama laki-laki itu.

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang