36. Not Me

57 12 0
                                    

Memutar lebih lambat, detik bertumpuk detik. Rasa bergelayut tanpa memandang masa. Lara mencekal dalam sekali kedipan mata bersamaan gerombolan kekecewaan yang melintasi benak seenaknya saja. Jin berlari sekuat tenaga, menerjang derasnya hujan. Menghamburkan segala rasa janggal yang kian membelit dada tanpa sisa.

Ia tak mampu, ia tak bisa, ia tak tahan membiarkan Kira sendirian. Jadi, setelah perdebatan dengan adiknya. Berpikir beribu-ribu kali dengan desakan yang kian membuncah. Jin mengambil satu ketetapan. Tak peduli bagaimana cuaca sekitar ataupun hasil akhir dari sebuah pertemuan, laki-laki itu akan tetap menjaga sang gadis sekalipun takdir tak pernah menginginkan.

Kira tunggu aku.

Namun, bukankah takdir lebih hebat? Jauh terasa lebih menyakitkan?

Bersamaan napas yang masih membabi buta laki-laki itu hanya mampu stangnan beberapa meter dari sang pujaan. Ia memandang pilu kala gadis itu telah dilingkupi oleh laki-laki selainnya. Menjadi penghangat gadis itu kala hawa dingin kian mencekam.

Apa yang Jin harapkan? Ia telah memilih untuk tetap menjaga sekalipun ia sendiri juga seharusnya teramat menyadari jika bukan hanya dirinya yang mencinta. Ia sudah menghabiskan tenaga yang tersisa untuk berlari bukannya menaiki kuda besi. Ia hanya ingin merasakan apa yang gadis itu rasakan. Namun, sekarang? Jelas rasanya akan jauh berbeda, tentu Jin tak akan mampu merasakan apa yang tengah sang gadis temui dalam diri.

Jin hanya mampu melihat, memandang, dan mengamati bersama retakan yang semakin menjadi-jadi. Hingga keduanya pergi menyisakan Jin sendiri dengan segenap luka yang terpatri. Jin terkekeh buram sebelum akhirnya berbalik badan untuk pulang.

Memandang penuh rasa prihatin Cinta menghela dalam kala melihat kakaknya yang tengah bergulung selimut di sofa ruang tengah sembari menyesap secangkir kopi dengan netra seredup awan badai.

Cinta mengingat, bagaimana kala kakaknya pergi untuk mencari Kira. Vino menghubunginya lantas berkata jika ia akan langsung pulang dan tidak kembali ke toko karena mengantarkan KIra pulang dan menyuruhnya untuk mengatakan itu pada Jin. Yah ... untung saja karena cuaca yang buruk pelanggan tidak ada yang datang.

Sejujurnya Cinta tahu betul, setelah ia menerima panggilan dari Vino ia buru-buru menghubungi sang kakak, dan benar saja. Jin sudah tahu karena ia pasti melihat Vino dan Kira bersama. Jadi, Cinta hanya mampu menelan ludah. Segalanya semakin buruk.

Cinta mengepalkan tangannya. Menahan pelik yang kian menggerogoti isi kepala. "Kak, apa Kakak punya pilihan lain? Mungkin suatu celah yang hanya seukuran lubang jarum?"

"Tidak," jawab laki-laki itu hampa tanpa memandang sang lawan bicara. Masih fokus menatap cangkir kopi yang terasa hangat sampai ke ujung dada.

Cinta mendengus frustasi. Segera mendudukkan diri di sofa seberang sang kakak. "Lalu bagaimana? Apa Kakak akan terus begini? Terpuruk dan semakin tak memiliki arti?"

"Cin, lantas aku bisa apa? Kira membenciku, hidupku yang tinggal di ujung. Apalagi yang tersisa setelah itu?"

Cinta bergeming. Ia menatap sayu. "Jangan bicara begitu. Pasti ada jalan sekalipun itu masih tersembunyi."

Jin terkikik hambar, "Kenyataannya memang begitu bukan? Tak ada lagi yang tersisa. Cin, tidak perlu membuatku merasa jauh lebih baik dengan memberi harapan kosong. Kau tahu? Harapan-harapan seperti itu lah yang sebenarnya membuat seseorang lebih rentan untuk hancur."

"Aku hanya ingin membantu, sekalipun percobaan pertamaku justru berakhir buruk," gumamnya.

Jin tersenyum tipis. "Terima kasih sudah mencoba. Bukankah rencanamu berhasil? Kira membenciku, bukan? Sejujurnya, kamu hanya membuang-buang waktu untuk hal yang mustahil. Aku tak ingin membuat semuanya menjadi lebih tak terkendali. Biarkan ini menjadi akhir atau mungkin awal dari akhir."

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang