13. Illustration of Past Time

67 20 0
                                    

ILLUSTRATION OF PAST TIME

"Masa lalu membawa kenangan lampau."

.
.
.

"Ayah, Ibu apa salahnya bila Kira pergi ke club malam?!" Gadis itu memekik dengan emosi menggebu-gebu. Terduduk dengan kasar di kursi dengan gaun mini yang memperlihatkan paha mulusnya sembari menatap tajam kedua orangtuanya.

"Kira, sadarlah Nak. Kamu sekarang sudah besar pasti mengerti bahwa pergi ketempat seperti itu cukup berbahaya apalagi dengan pakaian terbuka seperti itu," Siti berkata dengan penuh kesabaran. Ada perasaan gagal kala menyadari putrinya tumbuh seperti tidak terdidik tapi bagaimanapun Kira tetaplah anaknya.

"Kira tidak peduli, Bu! Lagipula Kira bisa menjaga diri. Jika aku tidak ikut ke sana maka teman-temanku pasti akan mengejek. Kira tidak mau sampai malu!" ujarnya menggebu. Menghentakkan heels hitamnya di lantai.

Tian mendengus, memijit pelipis dengan emsoi menggebu. "Kira cukup! Ayah tak menyangka kamu tumbuh menjadi seperti ini."

Kira berdiri. "Ayah tak mengerti. Pokoknya Kira akan tetap pergi!" Kira membuka pintu degan kasar, lantas menutupnya dengan penuh emosi hingga menimbulkan bunyi yang keras hingga membuat kedua orangtuanya terlonjak. Kira mengumpat di halaman mengabaikan kedua orangtuanya yang memanggil dirinya. Memasuki taksi yang sudah ia pesan, menuju ke club malam.

Barangkali, karma itu akan datang di waktu yang tidak tepat. Kira menyadari menjadi pembangkang adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Waktu itu, saat ia sudah berada di club malam takdir memberikan balasan sebagai pembelajaran. Ia dilecehkan dan hampir saja diperkosa jika ia tidak melawan laki-laki bejat itu dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia mabuk waktu itu. Tapi keberuntungan masih memihak saat Kira memukul kepala laki-laki itu dengan sepatunya hingga laki-laki itu terjungkal dan pangutan pun terlepas.

Kira segera berlari keluar club. Pulang ke rumah dengan air mata berlinang. Ia sadar akan kesalahannya, berlutut meminta maaf ke pada kedua orangtuanya saat sampai di rumah dengan tangis yang memilukan. Sejak saat itu ia sadar dengan kesalahannya dan dari kejadian itulah ia menjadi begitu was-was dengan setiap lelaki yang mendekatinya, bila dirasa mengancam atau berpikiran lain. Tapi kesalahan tak pernah berakhir dan terkadang kejadian yang sama terulang hingga Kira menjadi seperti sekarang.

Kira buru-buru mengelap air matanya. Kelopaknya memerah dengan pipi dan hidung yang sama meronanya, mengingat kejadian malam itu adalah hal yang paling menggetarkan. Kala laki-laki itu memangutnya dengan penuh gairah, kerakusan, dan penyiksaan. Membuat semua engsel Kira seakan terlepas, rontok satu-satu persatu. Ia takut, sangat takut––tapi tak ada yang menolongnya karena semua temannya abai, fokus pada diri sendiri.

Gadis itu merapatkan pelukannya, memeluk bantal putih itu. Hari masih pagi, sinar mentari juga enggan untuk menerangi tapi sebuah memori itu tiba-tiba melesat tanpa permisi.

Deringan ponsel terdengar, Kira segera meraih ponsel yang berada di tengah kakinya yang terlipat. Buru membersihkan air matanya lantas menyamankan posisi duduk. Kira berdeham beberapa kali sebelum mengangkat panggilan itu.

"Nak, di sana kamu baik-baik saja 'kan?" Suara wanita itu tampak khawatir. Sebagai orang tua tentu saja Siti merasa cemas dan khawatir dengan keadaan anaknya. Apalagi, ia tinggal bersama seorang laki-laki dewasa. Kejadian yang pernah menimpa Kira dulu juga membuatnya merasa terpukul.

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang