FREEDOM
.
.
.Vino mendesah berat. Mematikan ponsel setelah ia menghubungi Jin. Laki-laki berkemeja garis-garis merah putih itu berjongkok, mengacak kasar surainya. Ia berdecak berkali-kali.
Irisnya berkaca menatap nahas dapur yang kini dipenuhi asap. Lokasi rumah yang memang berada cukup jauh dari tetangga––itupun dikelilingi banyak pohon sebelum menuju rumah-rumah lainnya benar-benar membuat kejadian seperti ini tidak akan terdeteksi. Bagaimana jika terjadi hal yang buruk? Vino merasa begitu kalut.
"Vin, apa yang terjadi?!"
Vino terkesiap, sontak menoleh lantas berdiri kala menadapati Jin yang perlahan datang––berlari mendekat bersama Kira yang mengekor di belakangnya. "Tadi waktu Cinta mencoba membuat mi Cinta mengobrol dengan Vino di toko dan tiba-tiba suara ledakan terdengar sepertinya pancinya gosong dan kompornya meledak," katanya setengah bergetar.
Jin mendelik. Pandangannya sontak berkeliling. "Di mana Cinta?!" tanya Jin begitu panik.
Vino menunduk merasakan tubuhnya begitu kaku namun terasa rapuh. Ia hanya mampu terdiam.
"Vin! Di mana adikku?" pekik Jin sembari meraih kerah kemeja yang Vino kenakan. Sungguh Jin tidak bisa lagi untuk mengontrol emosi. Lebih dari bahaya untuk dirinya sendiri ketika kemarahan menguasai tentu sang adik lebih penting dari hal itu.
"Jin tenanglah, kita tidak bisa kehilangan kontrol disaat seperti ini." Kira menepuk pelan pundak laki-laki itu. Mencoba menenangkannya. Ia sendiri tak kalah takut dengan kemungkinan terburuk tapi bertengkar disaat seperti ini juga tak akan membantu apapun.
Jin menghela lantas melepaskan cengkeramannya. Ia menatap Vino sengit, menuntut penjelasan lebih. Vino yang mengerti maksud sang bos mencoba membuka suara, "Setelah ledakan terdengar Cinta dan Vino buru-buru ke dapur saat sampai di sana apinya sudah membesar kita berusaha memadamkan api itu tapi tidak bisa. Akhirnya Cinta menyuruh Vino keluar melalui pintu menuju ruang tamu untuk menghubungi Bos dan dia akan memadamkan api itu sebisanya tapi setelah itu terdengar suara ledakan lagi Vino tidak tahu itu berasal dari apa," jelasnya. Vino benar-benar takut tapi ia juga tidak bisa berbuat banyak.
"Kenapa kamu tak menolong Cinta terlebih dahulu dan kenapa kamu membiarkannya memadamkan api itu!" Jin benar-benar tak habis pikir. Mungkin setelah hari ini Jin akan mengambil keputusan untuk memecat pekerjanya itu.
Tapi sebelum Vino hendak membuka suara kembali, tepat saat Jin menoleh ia sudah mendapati Kira yang berlari menuju pintu yang menuju ruang tamu. Jin sontak berlari mengejar gadis itu. "Kir, di sana berbahaya!" teriak laki-laki itu sembari mengejar sang gadis.
Kira berhenti sejenak di ambang pintu. "Tidak ada waktu untuk berdebat, Jin! Cinta benar-benar dalam bahaya!" Kira segera masuk dalam rumah yang dipenuhi asap. Membuat hati Kira berdegup dipenuhi resah. Asap yang tercipta begitu menyeruak membuat Kira terbatuk-batuk, sulit bernapas, dan matanya terasa perih sama seperti Jin yang kini sudah berada di samping gadis itu. "Kir, kamu baik-baik saja."
"Sebaiknya kamu cemaskan adikmu. Sekalipun aku mati karena terbakar atau kehabisan napas itu bukanlah masalah. Aku juga akan segera lenyap, bukan? Adikmu yang paling penting sekarang."
Jin mengangguk. Ia mengibaskan tangannya guna menyingkirkan asap yang terus menerjang. "Kamu benar. Tapi di mana adikku itu?" tanya Jin ketika mereka sudah di ambang pintu dapur. Kira pun mengernyit kala tak mendapati apapun di sana kecuali api yang terus menggerogoti benda-benda sepanjang ruangan. Melahap apapun yang dilewatinya.
"Cin, kamu di mana?!" teriak Kira sembari menyusuri dapur. Semuanya terasa pengap dan panas. Kira terus terbatuk-batuk sembari membekap mulutnya dengan tangan. Begitu pun dengan Jin yang mengalami hal tak jauh berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNTU ✓
Fanfiction[ENDING] Bak terjebak dalam sebuah kotak persegi tanpa celah, Kira tak akan pernah bisa melarikan diri dari cinta dan akhir dari hidupnya sekalipun ia berusaha sekuat tenaga, karena hanya kata buntu yang masih tersisa. ↓ ↑ #2 Curse Series. 2- Start:...