18. Strangeness

61 14 6
                                    

STRANGENESS

"Terkadang sesuatu yang sepele merupakan inti dari semua rangkaian yang tersembunyi."

.
.
.

Mimpi? Semua orang pernah mengalaminya. Entah baik atau buruk––itu hal yang lumrah terjadi. Tapi jika sebuah mimpi mampu merayap sampai unsur-unsur setiap kepingan memori, menyentak setiap malam hingga rasa benar-benar gila dan mencekik ulu hati. Mungkin bisa juga menjadi penyebab depresi.

Malam akan menjadi lebih panjang dan menakutkan. Menciptakan bekas tak terlihat yang membuat diri sulit untuk terlelap. Membubuhi rasa getir dan ketakutan yang mendobrak. Jin benar-benar sudah tidak tahan. Ia ingin melarikan diri secepatnya––seandainya bisa dan takdir mengizinkannya.

Laki-laki berbalut kemeja putih garis-garis biru itu menghela frustasi. Mengacak surainya dengan getir yang terasa menusuk-nusuk tiada berhenti. Mendongak––menatap langit-langit kamarnya yang seputih kapas––kosong tanpa campuran apapun. Ia baru bangun dari malam panjangnya yang diiringi mimpi-mimpi yang membuat tubuhnya seakan mati rasa.

Menyibak selimut putih tebalnya. Menempelkan telapak kaki di lantai yang membeku. Rasa dinginnya––merayap sampai tulang-tulang. Berdiri, melangkah gontai menuju kamar mandi yang ada di dapur. Sebenarnya ada satu kamar mandi di dalam kamarnya, tapi sejak dulu Jin memang lebih menyukai yang di dapur. Di ambang pintu kamar ia tersenyum getir. Memangnya apa yang bisa aku lakukan untuk merubah takdir.

Ia terdiam, sedikit tersentak di ambang pintu dapur kala mendapati presensi Kira yang tengah memasak dengan tenang. Ia menarik napas, sedikit gugup lantas datang mendekat.

"Kira," panggilnya serak.

Kira menoleh. Terbelalak kala mendapati Jin yang berada tepat di belakangnya. Sentakan tak nyaman kembali merambat, merubah atmosfer secepat kilat. Kira terdiam dengan laju jantung yang semakin tak beraturan, takut dan was-was. Pada detik berikutnya Kira berdeham, "Sudah bangun ya?" tanyanya canggung. Ia tak terlalu nyaman bila terlalu dekat dengan laki-laki itu. Namun ia kembali berfokus menumis kangkung yang ditemani beberapa udang. Bau dari bumbu-bumbu menyeruak memenuhi dapur.

Jin mengangguk dalam diam, hening begitu terasa. Hanya sutil yang Kira pegang menjadi irama kala bertabrakan dengan wajan. Jin menghela, berusaha menahan degupan beriringan dengan desiran halus yang merambat kala bau shampo Kira begitu terasa di indera penciumannya. Berusaha menahan diri mati-matian untuk tak menyentuh sang gadis. Jin masih ingat bagaimana dulu seseorang yang bahkan sekadar reruntuhan abu-abu berhasil membuatnya menyesal hingga Kini.

Kira menahan napas beberapa kali. Rasanya begitu canggung dan udara seakan tak ingin ikut campur hingga bernapas saja serasa tidak bebas. "Jin kamu tidak apa-apa?"

Jin berkedip. Menggeser tubuh agar berada di samping gadis yang di balut baju rajutan warna toska itu. Sangat cocok untuknya. "Sepenuhnya baik. Mungkin setiap manusia memang tak pernah merasa baik-baik saja. Pasti ada hal besar ataupun kecil yang menjadi suatu beban."

Kira menoleh––menatap manik bak kopi yang baru diseduh itu. Hangat, menenangkan, tapi juga menghinoptis. "Kamu ada masalah?" Kening Kira berkerut––membentuk gelombang-gelombang tipis.

Laki-laki itu menggeleng pelan. "Tidak, hanya sedikit tak bersemangat." Jin tersenyum kecil mengacak pelan surai gadis itu. Membiarkan Kira terpaku dengan sendirinya. Yah ... Kira masih mengingat bagaimana kalutnya dirinya kala melihat Jin melakukan hal yang sama kepada adiknya. Kira jadi malu sendiri.

Kira memajukan bibir bawahnya. "Kamu belum mandi, ya? Pantas tidak bersemangat," ucapnya setengah meledek.

Sontak Jin menggaruk tengkuk––malu bercampur kikuk. "Baru saja aku ingin ke kamar mandi tapi hadirmu sudah mengalihkan tujuanku."

BUNTU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang