IT'S OKAY TO BE NOT OKAY
.
.
."Jadi, itu keinginanmu? Menjadi seorang tukang bunga lantas melupakan tugas yang memang seharusnya diemban oleh dirimu?" Beberapa kelebat memori itu melesat––beberapa lainnya ikut menyusul, "Aku tahu, tapi menjadi tukang bunga memang keinginanku sejak dulu dan asal Ayah tahu, aku akan tetap memujudkan keinginanku itu."
Darma menarik napas. "Lanjutkan perusahaan keluarga atau kamu tak akan mendapatkan secuil harta dari apa yang keluarga ini miliki."
Jin tersenyum simpul. "Terserah saja, aku tidak peduli. Aku lebih baik pergi dari rumah ini daripada dipaksa menjadi sesuatu yang tak pernah aku inginkan."
Laila menatap cemas namun ia hanya memandang resah sementara sang ayah sudah kehilangan kesabarannya. "Silahkan saja! Ayah tak yakin jika kamu mampu bertahan hidup tanpa harta."
Jin memandang dingin sebelum akhirnya melangkah menuju kamarnya dan beberapa hari kemudian ia pergi tanpa kata. Lenyap tanpa jejak. Hilang begitu saja. Semua orang tak ada yang tahu. Sang ayah yang tengah dilanda emosi hanya bersikap tak acuh sementara sang ibu dan Cinta berusaha mencari hingga mereka menyerah. Barangkali karena mereka juga sudah menduga di mana Jin berada. Tentu saja di Jakarta.
Memori terus berputar hingga saat ia benar-benar tengah terjun dalam kubangan keputus asaan bersama dengan isi kepala yang teraduk-aduk––pusing, penat, berat, panas hingga kesadaran hampir sepenuhnya menghilang––suara orang-orang dan dentuman musik di dalam club bak hanya dengung tak berati hingga salah seorang gadis mampu menarik atensi laki-laki itu.
Jin tersenyum kecil, pikirannya melayang merasakan sesuatu yang liar dalam dirinya perlahan bangkit. Pikiran-pikiran nakal semakin membelit. Pada akhirnya Jin berdiri dari kursinya. Melangkah pelan penuh nafsu. Ia menyeringai kala gadis yang hanya memiliki setengah kesadaran itu justru mendekat, menarik dasi yang terpasang pada kerah bajunya dengan tatapan begitu menggoda. "Sexy girl," rayunya sembari membelai pipi sang gadis sebelum berlanjut ke bibir mungilnya.
Sang gadis yang akhirnya tersadar kala Jin semakin memperbanyak belaian pada tubuhnya berusaha melarikan diri sekuat tenaga. Jin hanya ingat satu pukulan menghantam kepalanya kala itu sebelum akhirnya tersadar kala orang-orang di club sudah banyak yang membubarkan diri.
Jin tak mengingat wajah sang gadis sama sekali. Namun, ia tahu jika kejadian itu benar-benar terjadi dan penyesalannya terjadi hingga kini. Bayang-bayang dari rasa bersalah yang selalu mengikuti Jin hingga kini––hingga ia benar-benar tertampar kala mendapati fakta bahwa gadis di sampingnya itu merupakan orang yang sama dengan yang waktu itu dan kini Kira merupakan keping dari bagian hari dan setengah dari hatinya.
Sedari dulu Jin tak pernah berpikir jika gadis yang ia lecehkan merupakan seorang jalang atau wanita-wanita yang seperti itu. Hatinya terlalu yakin jika gadis itu adalah seseorang yang tertekan sama seperti dirinya.
Satu sentakan melesat. Kata-kata sang gadis kembali terngiang. "Aku memaafkanmu."
Jin tak mampu merespon, mulutnya terkunci rapat. Getar dalam tubuhnya semakin membesar bersamaan dengan hatinya yang melebur menjadi kepingan. "Kira jadi gadis itu kamu? Kamu tidak berbohong, kan?" tanya Jin entah untuk apa. Menyakinkan dirinya atau memang ia tak mampu menerima fakta yang ada.
Kira menghela dalam. "Seandainya itu bukan diriku, aku tak perlu bersusah payah menahan amarah yang siap menghantammu. Sebetulnya aku tak perlu repot-repot untuk terkejut apalagi untuk meluapkan amarah kembali, karena sejatinya aku sudah tahu terlebih dahulu. Aku sudah meluapkan isi hati yang memanas hingga hampir kosong. Sekarang kamu sudah tahukan alasan perubahanku, kan? Seharusnya sekarang hatimu sudah lega karena pertanyaanmu sudah terjawab."
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNTU ✓
Fanfic[ENDING] Bak terjebak dalam sebuah kotak persegi tanpa celah, Kira tak akan pernah bisa melarikan diri dari cinta dan akhir dari hidupnya sekalipun ia berusaha sekuat tenaga, karena hanya kata buntu yang masih tersisa. ↓ ↑ #2 Curse Series. 2- Start:...