Alana memasuki kamarnya, menutup pintu sangat pelan. Badanya meringsut di balik pintu.
Gadis itu, duduk di samping kasurnya, ia sudah seperti orang gila. Pakaian nya lusuh, akibat tadi ia kehujanan sepulang dari Caffe. Wajahnya seperti monster, lebam kebiru biruan sudah banyak, terlebih lagi tadi tamparan Hana membuat ujung bibirnya berdarah. Tak ada niatan ingin membersihkan diri, karena hari ini ia sangat lelah.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu, tak lama pintu itu terbuka. Sudah bisa Alana tebak, itu pasti Bi Leni- yang akan menghantarkan makanan untuknya.
"Ana ..." panggil leni lembut.
Alana segera menghapus air mata yang sedari tadi mengalir, lalu melirik ke arah Leni, tak lama gadis itu langsung bangun dan menghambur ke pelukan Leni.
"Bi ... Alana sayang bi Leni." Suara nya lirih dengan diiringi tangisan, di dalam pelukan Leni.
Leni mengelus lembut puncak kepala Alana. Lalu meletakan senampan makanan ke atas nakas untuk Alana.
Leni memegangi kedua pipi Alana. "Ana kan kuat. Kenapa nangis? Matanya sembab lho."
"Bi, aku bukan anaknya papah Ferry," Alana menatap mata Leni.
Mata Leni membulat sempurna. "Ja- jadi, Ana sudah tau?"
Hati Alana lagi lagi dibuat bergetar oleh kenyataan. "Jadi, Bi Leni juga sudah tau semuanya?" Alana menggelengkan kepalanya lemah. "Kenapa Bibi ikut menyembunyikan semua ini?"
Leni memeluk badan ringkih Alana, namun Alana mencoba terlepas dari pelukannya.
"Maaf." Ucap Leni lirih, "Maafin Bibi Na, Bibi terpaksa." Kembali bersuara dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Badan Alana meringsut ke bawah, lalu meringkuk memeluk lututnya sendiri, menutup matanya menggunakan kedua tangannya. "Kenapa aku semenyedihkan ini ya Bi? Apa aku ada salah sama semesta? Mengapa semesta begitu banyak merahasiakan sesuatu yang seharusnya aku ketahui?" Ujar Alana panjang, masih dengan posisi yang sama.
Leni ikut duduk di samping Alana, mensejajarkan tingginya, lalu memeluk kembali tubuh gadis yang sedang hancur, gadis yang selalu hancur di buat keluarganya. Bukan hanya hancur di fisiknya, namun juga pada mentalnya, kesehatannya juga ikut terganggu akibat cemoohan yang sering dilontarkan orang tuanya.
"Ada Bibi di sini, sekarang Ana makan dulu ya?" Tawar Leni, meskipun ia sudah tau jawabannya pasti -nanti aja.
"Nanti aja bi, Ana belum lapar." Jawab Alana tak berselera sambil menatap kosong kedepan.
Leni mengangguk paham lalu memundurkan langkahnya. "Bibi ke dapur dulu ya Na." Lalu melangkahkan kaki dengan sopan meninggalkan Alana yang masih melamun.
Alana melirik ke arah makanan yang di bawa Leni tadi, tumben sekali mamanya memberikan makanan yang lezat, biasanya Alana hanya di beri nasi dan kerupuk saja. Namun Alana tak mempedulikan makanan lezat itu, Alana masih teringin duduk dan melamun.
Ternyata pintu kamarnya belum sepenuhnya di tutup oleh Leni, membuat mau tak mau suara dari luar kamarnya terdengar hingga ke indra pendengarannya.
"Kaki kamu kenapa sayang?"
Alana mengintip dari balik pintu yang sedikit terbuka, tampak di sana ada Hana dan juga Nasya-adiknya. Raut wajah Hana nampak sangat khawatir.
"Tadi aku jatuh mah pas lagi main basket," Nasya memasang raut kesakitan di wajahnya.
Alana membuang muka ke lain arah, tak mau melihat kejadian yang sangat menyakiti hatinya.
Disaat adiknya sangat di sayangi oleh mamanya, sedangkan dia selalu di sambut dengan tamparan, dengan cemoohan yang sangat menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WUNDE ( Selesai )
Teen Fiction🥀Wunde dalam bahasa Jerman, berati Luka.🥀 Ini hanya secarik kisah tentang Alana Audreleya, seorang gadis yang tak pernah di berikan sedikitpun kekuatan untuk melawan kerasnya semesta. Dan suatu malam, dia di pertemukan dengan -Gevandra- lelaki ya...