11🥀

4.9K 502 41
                                    

"Tentang rasa kecewa yang selalu hadir."

***

"Itu dia pelakunya!" Teriak seorang siswa dari bawah sana.

Alana menggelengkan kepalanya cepat, berusaha membela diri. Dengan langkah bergetar gadis itu berlari menuju ruang kelasnya. Yang berada di lantai dua.

Para siswa kepo mulai berhamburan menuju ke tempat reka kejadian.

Alana menutupi kepalanya sendiri, agar tidak mendengar suara keributan para siswa yang sudah mengetahui kejadian itu.

Aldo memasuki kelasnya terburu buru. "Aldo?" Lirih Alana.

"Aku enggak nyangka, kamu sejahat itu sama Vino, kamu boleh benci sama Nasya, tapi bukan dengan cara membunuh pacarnya juga." Muak Aldo, menuduh tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu.

Alana tampak memiringkan kepalanya, berusaha mencerna apa yang di katakan oleh Aldo.

Suara bisik bisikan tetangga dari luar kelas bisa terdengar ke pendengaran Alana.

Kasian banget dah si Vino.

Nasya histeris banget ya.

Kasian Nasya, mereka kan baru jadian.

Katanya yang bunuh Vino itu Alana, kakaknya Nasya, katanya sih dia itu iri sama Nasya.

Mata Alana membulat sempurna, jadi para penghuni sekolah sudah mengira bahwa dia pelakunya.

Nayatanya manusia itu bisa langsung menyimpulkan, tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Semua bukan kesalahannya, namun seakan ia yang menjadi pelaku. Alana takut, tapi sekuat apapun Alana membela dirinya sendiri, semua orang tak akan mempercayainya. Mempunyai adik bermuka dua itu susah, bahkan sangat sulit.

Dengan kaki bergetar, Alana memberanikan diri keluar kelas. Tepat di depan ruang kelasnya, semua siswa beramai ramai menonton Vino dari atas koridor. Sasya juga ikut dalam gerombolan para siswa yang kepo.

Tampak di bawah sana ada Nasya yang sedang histeris, dan juga para guru yang sedang menenangkan Nasya agar tetap sabar.

Kedua tangan Alana mengepal di sisi badanya. Di dalam lubuk hati nya, ia tak berhenti merutuki kebodohannya sendiri. Ia harus mempersiapkan mentalnya untuk beberapa menit kedepan. Apakah ini awal dari kehancuran hidupnya? Apakah kehidupannya selama ini masih kurang mebderita hingga semesta memberikan cobaan seperti ini.

Fitnah itu menyakitkan. Bahkan, fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Tak lama sebuah pengumuman terdengar memanggil namanya.

"Alana audreleya, di harap datang ke ruang guru sekarang."  Ucap seorang guru dari sebuah mikrofon sekolahnya.

Alana menghela nafas panjang, menetralisirkan pernafasannya yang kian memburu. Tanpa di minta, air mata itu jatuh membasahi wajahnya.

Apa ini akhir? Atau awal dari keterpurukanya selama ini. Alana sudah capek dengan fitnah yang selalu di tuduhkan oleh adiknya itu. Tapi semesta selalu mempermainkan perasaannya.

WUNDE ( Selesai )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang