46🥀

6.5K 536 70
                                    

"Sakit, adalah ketika orang tersayang menginginkan kita untuk pergi." 

Dia duduk diantara senja menuju malam, dengan melihat ke arah barat, di mana matahari akan terbenam. Air mata itu belum kunjung juga berhenti untuk menetes.

Perlahan namun pasti, tangannya beranjak membuka retsleting tas, meraih sebuah benda kecil dan tipis, namun mampu meredakan luka.

Ya, luka yang tak terlihat. Luka hati yang begitu mendalam. Tenang saja, dia hanya terluka, dan dia sudah terbiasa terluka.

Gadis itu menyayat pergelangan tangannya, membiarkan darah merah kental mengalir mengotori lengan tangan. Dia berdiam diri, merasakan sensasi perih namun bisa sedikit meredakan rasa sakit yang berdenyut di dalam hatinya.

"Gak bakal ada yang peduli."

Setelah mengatakan itu, ia memejamkan mata. Di atas gedung tinggi ini, gadis itu duduk sendiri di ujung rooftop. Tak peduli jika bisa saja ia terjatuh ke bawah sana.

Hingga, tanpa ia sadari, dirinya terlelap dalam tidurnya. Hanya bertahan beberapa detik saja, sebelum ia kembali terbangun dengan nafas yang terengah.

Anak pembawa sial!

Gak tau di untung!

Saya selalu berharap kamu mati!

Kenapa kamu gak mati aja, Alana?

Dia terbangun dengan nafas yang sangat memburu. Jika saja tadi ia tak sigap untuk menopang diri, mungkin Alana sudah terjatuh dari atas Rooftop ini.

Lagi-lagi, Tuhan kembali memberinya keselamatan. Mengapa? Padahal, Alana berharap ia pergi. Pergi sangat jauh, dan tak kembali.

Alana menghembuskan napas kasar, hingga tanpa ia sadari kini waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam.

Lihat lah, betapa lama Alana duduk di sana. Bahkan, ia juga belum mengganti seragamnya. Ia berlalu dari tempat itu, dengan tangan yang masih di penuhi dengan bekas noda darah.

"Kalo bunuh diri gak dosa, Alana udah lakuin hal itu."

🥀_Wunde_🥀

"Saya membenci kamu, Alana. Dan saya berharap kamu mati."

"Alana sayang sama Mamah, Alana cuman gak mau, kalo mamah telat sayang sama Alana."

Hana terbangun dari tidurnya, lagi-lagi mimpi tentang anak itu kembali memasuki bunga tidurnya. Ia mendudukan diri di sofa samping Nasya terbaring.

Kembali Meremas handuk kecil yang berada di dalam wadah berisikan air hangat. Lalu, mulai membersihkan lengan gadis itu lagi.

Mata Nasya terpejam damai, sejak kejadian itu. Seolah tak ada tanda-tanda gadis itu akan kembali membuka mata.

Hana mencium punggung tangan Nasya, mengecupnya cukup lama. Berharap dengan hal itu, Nasya bisa bangun kembali. Rasanya separuh jiwa wanita itu telah hilang, melihat tubuh kurus pucat pasi permata hidupnya.

"Mamah selalu nunggu Nasya bangun. Tapi, kenapa Nasya betah banget tidurnya?" Ucap Hana lembut, sembari mengelus halus rambut anak gadisnya itu.

Hana kembali menatap wajah pucat pasi Nasya. Wanita itu berdiri mendekat, mengecup kening gadis itu lama, walau berikutnya ia terkejut luar biasa ketika kepala gadis itu bergerak kecil. Hana sedikit menjauhkan tubuhnya, untuk melihat kondisi putrinya.

WUNDE ( Selesai )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang