🥀Wunde dalam bahasa Jerman, berati Luka.🥀
Ini hanya secarik kisah tentang Alana Audreleya, seorang gadis yang tak pernah di berikan sedikitpun kekuatan untuk melawan kerasnya semesta.
Dan suatu malam, dia di pertemukan dengan -Gevandra- lelaki ya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kamu memang anak tak tau diri ya, Vandra!" Lelaki itu terus memaki nya.
Gevandra menatap lelaki itu dengan tatapan datar, tanpa ekspresi.
"Kamu itu mau nya apa sih!?"
"Saya gak mau di paksa! Saya punya pilihan sendiri, saya---" ucapan Vandra terpotong.
"Siapa pilihan kamu?"
"Dia!?"
"Gadis asing, yang gak se-Iman sama kita!?"
Vandra bungkam tak bersuara. Ia memang salah, tapi perasaan ini, tak dapat ia pungkiri, dia sangat mencintai Alana, begitupun sebaliknya.
"Kenapa diam? Gak punya mulut buat ngomong?"
"Alana bisa masuk ke agama kita," ujar Vandra lirih. Dan langsung mendapatkan tamparan keras pada pipi nya.
Plak.
"Gila kamu, kamu ngelawan saya dan mau ngambil dia dari Tuhannya?"
"Berpindah agama itu bukan hal yang mudah, apa lagi kepercayaan itu sudah di anutnya sejak kecil. Dan, berpindah kepercayaan itu harus karena Tuhan, bukan kerena cinta."
"Saya memang orang jahat, tapi kamu lebih jahat, karena mau mengambil dia dari Tuhannya." Lanjut lelaki itu berbicara.
Dito melempar sebuah kertas pada meja. "Datang. Atau gadis itu gak akan selamat," ujar Dito, lalu pergi berlalu dari hadapan Vandra.
Vandra mengela napas kasar, kedua tangannya terkepal sempurna pada sisi tubuhnya.
Apa dia salah, untuk memperjuangkan cinta nya? Apa semesta memang tak mengijinkan nya untuk bersatu dengan orang yang ia cinta?
🥀_Wunde_🥀
Suara dentuman musik terdengar sangat keras, banyak sekali manusia di dalam ruang itu sedang berjoget ria. Namun tidak dengan seorang cowok yang sedari tadi berdiri mematung di ujung ruangan, dengan seorang gadis yang bergelayut manja di lengannya.
"Van, ikut joget yuk? Massa dari tadi berdiri di sini terus," kesal nya, lantaran sedari tadi cowok itu berdiri dengan tatapan kosong, seperti patung pajangan pesta.
"Lo bisa lepasin tangan gue, gak?"
Capela berdecih pelan. "Dua minggu lagi kita tunangan, wajar 'kan kalo gue gini?"
