"Aku ada, namun ditiadakan."
Alana menaruh kembali piring yang baru saja dirinya gunakan untuk sarapan pagi pada rak wastafel. Gadis itu melirik ke kiri-dan kanan, melihat se-isi rumahnya yang terlihat sepi.Ini adalah pertamakalinya Alana berjalan dengan santai di dalam rumah besar ini. Biasanya, ia akan menggunakan pintu belakang untuk keluar-masuk rumah ini.
Tatapannya berubah sendu, ketika netra hazel gadis itu tertuju pada sebuah meja makan. Sudah dua minggu ini, meja makan itu tak terpakai. Tak seperti pagi-pagi biasanya, yang di ramaikan dengan gelak canda tawa keluarganya, walau... tanpa Alana.
Semenjak Nasya koma di rumah sakit beberapa minggu yang lalu. Hana dan Ferry tak pernah dirumah, mereka lebih memilih menghabiskan waktu berharganya di sana, sembari menemani Nasya, dirumah sakit. Sesekali mereka pulang, hanya sekedar mengambil baju, atau ada keperluan lain saja.
Alana kembali berbalik badan, menatap Bi Leni yang sedang mencuci beberapa piring disana.
"Bi, Alana berangkat sekolah dulu, ya." Pamit gadis itu, mendekat ke arah Leni, hendak mencium tangan.
Leni menoleh. "Tangan Bibi kotor, Ana langsung berangkat aja, nanti tangan kamu ikutan amis," ia menolak, walau akhirnya Leni segera mencuci tangan ketika Alana masih berdiri sembari tersenyum disampingnya.
Alana mencium punggung tangan Bi Leni. "Bibi hati-hati dirumah."
Leni mengernyit heran. "Kenapa?"
"Gak papa kok. Alana berangkat dulu,"
Sebelum gadis itu benar-benar berbalik badan, Leni memegang pelan pundak Alana. Mengelusnya, seolah ingin memberikan ketenangan pada gadis itu.
"Bibi bakal baik-baik aja. Ana yang harusnya jaga diri, hati-hati ya." Ucapan lembut itu, mampu membuat hati Alana terasa hangat. Hingga, bening itu luruh membasahi pipi yang tak terlalu chuby milik Alana.
Setelahnya, Alana berjalan melewati ruang tengah, sedikit memelankan langkah, ketika mendapati pintu kamar Hana yang selalu tertutup rapat, kini terlihat sedikit terbuka.
Ia sedikit membuka pintu itu, agar lebih lebar. Tatapan Alana meredup, ketika melihat Hana meringkuk kedinginan di atas kasur.
Alana tersenyum tipis, melangkahkan kakinya dengan ragu memasuki ruang itu. Tak tega dengan kondisi Mamanya. Pasti tidur dirumah sakit tak akan nyenyak.
Gadis itu mematikan ac yang menyala, menaikan selimut tebal hingga sebatas dada mamanya. Mungkin, hal kecil ini bisa meredakan rasa kedinginan wanita itu.
Hana sedikit mengigau, bergerak bak seperti orang yang takut kehilangan sesuatu. Dengan gerakan kecil, wanita itu meraih tangan mungil Alana.
"Nasya ... Jangan tinggalin, Mamah."
Alana menggigit bibir bawahnya, ketika nama adiknya yang disebut pertama oleh mamanya. Padahal, ia sudah berharap lebih daripada itu.
Alana menepis halusinasi nya itu. Nasya adalah anak kesayangan mamah, wajar jika Mama sehancur ini. Bahkan Alana bisa melihat dengan jelas, wajah Hana yang kini semakin tirus, dengan kantung mata hitam.
Alana mensejajarkan tingginya dengan Hana. Melihat setiap pahatan wajah Mamanya.
Cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
WUNDE ( Selesai )
Teen Fiction🥀Wunde dalam bahasa Jerman, berati Luka.🥀 Ini hanya secarik kisah tentang Alana Audreleya, seorang gadis yang tak pernah di berikan sedikitpun kekuatan untuk melawan kerasnya semesta. Dan suatu malam, dia di pertemukan dengan -Gevandra- lelaki ya...