; satu - pilihan

98 6 0
                                    

Saat masih sekolah, Avery ingat pernah mengutuk tubuhnya yang terlalu sehat dibandingkan teman-temannya yang lain.

Tidak jarang dia memutar otak agar bisa terlihat sakit secara meyakinkan untuk beragam alasan konyol. Seperti terbebas dari sengatan matahari yang membakar kulitnya di tengah upacara bendera, kabur dari jam matematika yang membuat seisi kepalanya terasa mendidih, atau sekedar mengisi bagian dalam dirinya yang haus akan perhatian orangtua.

Masalahnya, saat ini, satu-satunya yang dia harapkan adalah menadi lebih kuat dari seorang Captain Marvel sekalipun.

"Kamu beneran nggak apa-apa? Mau aku anter ke rumah sakit?"

Frada dengan cepat menyodorkan tisu yang di ambilnya dekat wastafel dapur, panik melihat darah yang tidak berhenti menetes di atas wastafel, meskipun air kran sudah membasuhnya berkali-kali.

Avery menggeleng tegas, menerima tisu yang diberikan setelah membasuh wajahnya dengan air. Bersusah payah mencegah darah menetes di atas bajunya, membuatnya kerepotan.

"Makasih."

Alasannya sudah jelas bahwa dia kelelahan, lupa untuk membiarkan tubuhnya rehat barang sejenak.

"Aku cuma mimisan, istirahat bentar juga nanti sehat lagi, kok," ucap Avery sembari menyumpal dua lubang hidungnya dengan tisu, terdengar sudah terbiasa. "Kamu kaya nggak pernah liat orang mimisan aja."

"Lagian kenapa sih, kalo kaya gini kan aku ngerasa jadi bos yang jahat" sungut Frada, berkacak pinggang.

Selepas insiden menodai kue pernikahan yang sedang dihiasnya itu dengan tetesan darah, membuat kue itu seperti properti di film-film thriller, Avery memang harus lebih sering lagi memperhatikan kondisi tubuhnya.

Beruntung pemilik Bakery tempatnya bekerja saat ini sudah terasa seperti teman dekatnya sendiri, jika bukan, entah bagaimana nasibnya setelah merusak mahakarya setinggi tiga tingkat yang dibuat untuk acara sakral, harganya juga pasti tidak main-main.

"Kadang kalo liat kamu sampe kaya gini, aku kepikiran nyariin kamu jodoh aja. Umurmu udah duapuluh-dua, nggak ada yang salah sama nikah muda."

Avery tertawa, terdengar bindeng karena hidungnya masih tersumpal tisu, terhibur dengan celotehan Frada yang terdengar seperti seorang ibu yang kesal karena anaknya tidak kunjung menikah.

Pusing karena tidak punya uang? Cari jodoh.

Pusing karena beban hidup yang bertumpuk? Cari jodoh.

"Kamu kaya ibu-ibu deh, hubungin semuanya sama jodoh. Nggak nyambung."

"Kamu lupa kalo support system terbesar itu datang dari pasanganmu?" Freda kembali mengungkit salah satu kutipan dalam buku motivasi yang mereka pernah baca beberapa bulan lalu.

"Menurutku, dua kepala berarti dua masalah."

"Salah, dua kepala berarti dua solusi," koreksi Frada. "Setidaknya kamu nggak harus berjuang sendirian."

"Kamu pikir ada yang mau bayarin semua kebutuhan hidupku, beserta hutang yang bertebaran dimana-mana," tambahnya, tidak benar-benar bercanda karena memang seperti itu kondisinya saat ini.

"Aku punya kontak cowok-cowok tajir, kalo kamu mau."

Avery tersedak mendengarnya.

"Nikah itu bukan kegiatan amal, Frada sayang," tutur Avery dengan lembut, membersihkan kekacauan yang dibuatnya di dapur setelah memastikan mimisannya berhenti.

Bukan tidak mau, dia hanya tidak sempat dan memiliki keinginan lagi untuk memikirkannya. Bagi Avery, saat ini hal-hal manis seperti jatuh cinta menjadi terlalu sukar untuk sekedar diimpikan.

***


"Batas cuti kuliahmu hanya satu semester lagi, apa kamu yakin?"

Sepertinya, kali ini dia benar-benar harus merelakan kuliahnya.

Satu kalimat, tabungannya belum mencukupi, dan sepertinya tidak akan pernah mencukupi. Beasiswanya sendiri sudah lama dicabut karena dia sendiri tidak sanggup mengejar prestasi minimal yang perlu dipertahankan.

Ternyata susah sekali menjadi sarjana.

Avery berjalan di lorong fakultas selepas mengurus perpanjangan cuti kuliah pada bagian administrasi, converse hitamnya menyusuri lantai yang dipenuhi sisa-sisa cat, semilir angin membuatnya bisa mencium bau akrilik yang berasal dari ruang kelas, membuatnya rindu memenuhi sebidang kanvas dengan imajinasinya.

Pada hari-hari tertentu, terkadang Avery mempertanyakan kehidupannya yang tidak berjalan sesuai keinginan.

Sudah satu tahun semenjak dia memutuskan untuk menunda kewajibannya sebagai mahasiswa, bekerja, menggunakan hampir seluruh waktunya untuk mencari uang.

"Avery, kita berdua tahu bahwa Violet lebih penting dibandingkan kuliahmu."

"Mama tidak mau kehilangan lebih banyak."

Benar, seperti yang mamanya ucapkan, sudah banyak yang hilang dari kehidupan keluarganya. Dimulai dari perusahaan keluarga yang harus gulung tikar, Violet yang koma setelah kecelakaan, hingga papa yang bunuh diri.

Avery memang sudah seharusnya mengerahkan seluruh tenaga meski hanya untuk menjaga Violet agar bisa terus bernafas.

.
.
.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

bagian paling susah dari bikin cerita ternyata emang pas bikin part part awal ya, hacep lah pokoknya *sobs*

jangan lupa voment ya kalo kalian tertarik sama ceritanya, kayaknya terlalu pendek ya? anw, terimakasih sudah membaca

🐮

- 23/04/21 -

(ongoing) Be With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang