; tujuhbelas - concern

34 2 0
                                    

Kelakuan Orion hari ini cukup untuk membuat Avery kewalahan.

Selama mampir di rumahnya tadi, Orion tidak hanya membantu Avery memindahkan pakaian dan kebutuhan sehari-harinya ke apartemen, melainkan semua peralatan melukis sekaligus puluhan hasil lukisan Avery di atas kanvas yang semula ditumpuk begitu saja di sudut kamar hingga akhirnya berdebu.

Laki-laki itu bahkan mengajaknyaㅡatau lebih tepatnya menyeretnyaㅡmampir di toko perlengkapan lukis, mengingat semua cat dan kuasnya sudah mengering dan teronggok di pojok kamarnya dengan menyedihkan karena sudah lama tidak dipakai, dan lusinan peralatan lainnya, tidak perduli jika Avery berkali-kali menolak tawarannya.

"Semua ini kan penting untuk kuliahmu," kata Orion, menutup kuping pada semua ucapan Avery.

Laki-laki itu dengan santai berdiri di ambang pintu satu ruangan kosong yang tersisa di dalam apartemen. Sembari melipat tangannya di depan dada, dia mengawasi beberapa karyawan apartemen yang masuk ke dalam ruangan itu dan membantu membawa alat-alat gambar milik Avery, setelah mereka memenuhi kamar Avery dengan pakaian dan kebutuhan sehari-harinya tentu saja.

Avery yang tengah menempel di dinding dengan posisi berjongkok itu kini menelungkupkan wajahnya diantara lipatan tangan. "Tapi tidak perlu sampai berbuat sejauh ini," gumamnya frustasi, setengah takut karena Orion terlihat akan menyemprotnya jika dia mengeluh sekali lagi.

"Kenapa kamu mengeluhkan hal yang tidak penting?" Orion mengernyit tidak suka, beranjak dari ruangan yang kini dipenuhi oleh lusinan kanvas, easel, dan pernak pernik seperti cat dan benda kecil lainnya setelah para karyawan selesai mengangkut barang. "Kamu padahal menerima begitu saja bantuan dari Kakek tapi tidak dari saya," protes Orion.

"Karena kamu terus menghamburkan uang dan membuatku kehabisan cara untuk membalas budi. Pertama pakaian, kini alat lukis. Kita bahkan bukan benar-benar pasangan suami-istri." Avery mengatupkan bibirnya karena merasa ucapannya yang terakhir terlalu berlebihan.

Gadis itu lantas menarik nafas, baru menyadari ocehan panjang yang keluar dari bibirnya sembari dirinya mengekori Orion yang kini sudah berada di dapur, mengambil minum. Barusan, laki-laki itu sempat menoleh ke arahnya dengan pandangan aneh ketika dia mengungkit perihal pasangan palsu.

Avery kebingungan melihat Orion yang menyodorkan segelas air dingin untuknya, laki-laki itu tidak lagi terlihat kesal, dan kini lebih terlihat seperti orang dewasa yang sabar mendengar ocehan anak kecil.

Meski begitu, dia tidak banyak berpikir dan menerimanya saja karena ingin cepat-cepat melanjutkan ucapannya. "Aku juga masih bekerja untuk sebatas membeli beberapa keperluan pribadiku sendiri," tambah Avery.

"Anggap saja saya sedang berinvestasi," sahut Orion santai, kini ganti dia yang meneguk air dingin yang diisinya dari kulkas. "Kamu harus membayar saya balik jika sudah menghasilkan uang dari bakatmu."

Avery mengerucutkan bibirnya. "Perkataanmu itu membuatku semakin tertekan," katanya.

Hal itu kontan membuat Orion terkekeh panjang. "Kalau begitu, cukup pikirkan bagaimana caranya untuk tidak menyia-nyiakan biaya kuliah yang diberikan Kakek."

Tanpa menunggu respon Avery, laki-laki itu kembali berjalan di tengah luasnya apartemen, kali ini dia menjauhi dapur dan melangkah menuju bagian depan. Orion mengambil jas kerja berwarna biru dongkernya yang tadi dia taruh pada coat hanger dekat pintu masuk.

"Kamu akan pulang?" tanya Avery dengan refleks yang cepat. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu tetapi masih merasa ragu.

Orion mengangguk ringan untuk menjawab Avery, kemudian menangkap perubahan mendadak dalam raut wajahnya. "Well, apakah masih ada hal yang ingin kamu bicarakan?"

(ongoing) Be With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang