06

22.7K 1.4K 55
                                    

"Gue mau lo pake ini sekarang!" tegas Abi dengan menyodorkan tespek pada Abel.

"Lo apa-apaan, sih? Gue gak mau. Lo juga ngapain di toilet cewe? Mau ngintip, lo?"

Abi sama sekali tak menggubris pertanyaan dari Abel.
"Gue cuma minta lo pake ini!"

"Gue gak mau, lagian gue gak hamil juga," gumamnya takut terdengar orang lain.

"Kapan terakhir lo dateng bulan?"

Abel terdiam dengan pertanyaan Abi, seingatnya dia memang telat satu bulan, tapi tidak mungkinkan dia hamil?

"Cepetan pake!" suruh Abi dengan menyodorkan taspak.

Dengan ragu Abel pun mengambil tespeks yang di berikan Abi kemudian masuk kembali ke dalam toilet.

Abi bersandar di dinding sembari berharap semua yang ada di pikirannya salah.

Cklek!

"Gimana?" tanya Abi ketika melihat Abel keluar.

"Negatif, so sekarang lo pergi sana!" usirnya setelah memperlihatkan tespek bergaris satu pada Abi.

Ada perasaan ganjal dalam hati Abi, entah kenapa dia merasa tidak rela jika tespek tersebut negatif.

"Udah sana!" usir Abel lagi.

Abi pun berlalu meninggalkan Abel sendiri.

Abel bernapas lega ketika melihat kepergian Abi, dia bersyukur kebohongannya berjalan mulus.

Dia terduduk di lantai dengan menatap sebuat tespek di tangannya. Sebenarnya dia tidak benar-benar mencobanya, dia terlalu takut melihat hasilnya, dengan otak yang memiliki kapasitas tinggi, Abel mencelupkan tespek tadi pada air, dan ya hasilnya tentu saja negatif.

"Gue harus coba nanti, iya harus!" monolognya.

_______________________

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang penjaga kasir mini market ketika melihat kegugupan Abel.

"Mmm, saya mau beli tespek!"

Penjaga kasir menatap wajah Abel lama, membuat Abel benar-benar risih.

"Makanya mba kalo belum lulus sekolah jangan dulu main cowo!" sinis penjaga kasir dengan memberikan tespek pada Abel.

Abel menerimanya tanpa memperdulikan sindiran dari si penjaga kasir.

"Terima kasih," ucapnya sembari meletakkan uang pas, kemudian berlalu dari mini market.

Tiga puluh menit telah berlalu, akhirnya Abel pun sampai di kediamannya.

"Sudah pulang, nak? Sini makan dulu!"

Tanpa memperdulikan ucapan dari ibu tirinya, Abel lebih memilih naik ke kamarnya.

"Yang sabar, ya bu," ucap Citra ketika melihat raut wajah sedih dari sang ibu.

"Iya. Ayok lanjutin makannya!"

Citra mengangguk dan melanjutkan makan.

Di sisi lain Abel sedang mencoba tespek yang baru saja dia beli. Tak tanggung-tanggung dia membeli lima buah tespek.

Dia mencobanya satu persatu berharap hasilnya negatif.

Setelah selesai dia mencoba melihat hasil dari lima tespek tersebut.

"Semoga negatif," harapnya dengan hati-hati dia melihat satu tespek.

Bagai tersambar petir di siang bolong, Abel benar-benar terkejut dengan hasilnya.

"Positif? Gak mungkin!" sergahnya dan melihat tespek berikutnya.

Lagi-lagi hasilnya tetap sama, kelima tespek itu hasilnya positif.

Abel terduduk dengan lemas, dia tidak bisa menerima ini semua.

"Gak mungkin, ini semua salah. Gak mungkin!" teriaknya dengan tangisan pilu.

"Bunda, Abel harus gimana? Abel takut, hiks,"

Abel hanya bisa menangisi keadaannya, kenapa dunia seakan membenci dirinya?

"Apa aku gugurin aja?" monolognya dengan mengusap perut ratanya.

Dengan cepat Abel menggeleng mengenyahkan pikiran konyolnya.
"Gue bakalan pertahanin anak gue. Tapi gimana kalo semua orang tahu? Arrg bunda! Abel harus gimana?"

_________________________

"Abi sebenernya kamu kenapa, sih? Udah seminggu loh kamu muntah-munta, dokter juga bilang kamu gak kenapa-napa, tapi ini masih muntah juga," heran bunda Abi dengan mengurut tengkuk Abi.

"Abi juga nggak tahu, bun. Setiap pagi mual terus,"

"Mau kedokter lagi?" tawar sang bunda membuat Abi menggeleng.

"Gak usah bun, Abi gakpapa," ucap Abi sembari duduk di meja makan.

"Dulu juga Ayah pernah kaya gitu, tapi pas bunda kamu hamil, iya'kan bun?" ucap sang Ayah membuta Abi mendongah.

"Heem, pas bunda ngandung kamu, Ayah yang sering muntah-muntah," sambung sang bunda.

"Atau ... kamu memang hamilin anak orang, Bi?" todong sang ayah.

Abi terdiam dengan pertanyaan yang ayahnya lontarkan.

"Bener itu, Bi?" tanya sang bunda.

"Sebenernya, dua bulan yang lalu Abi nggak sengaja tidur sama cewe, bun, yah!"

Brak!

"Kamu jangan mengada-ngada Abi!" tegas sang ayah dengan memukul meja.

"Kenapa kamu nggak pake pengaman, hah?" sambungnya dengan mengurut plipisnya.

"Mas!" tegur sang bunda.

"Tapi udah Abi pastiin ko, kalo cewe itu nggak hamil!" sambarnya cepat.

"Gak mungkin. Siapa nama perempuan itu? Dan dimana rumahnya?" tanya sang ayah.

"Dia satu sekolah sama Abi, namanya Abel. Kalo rumahnya Abi nggak tahu dimana,"

"Bagaimana kamu ini, Abi? Bisa-bisanya kamu nidurin anak orang tapi gak tahu dimana rumahnya?" kesal sang bunda dengan mengurut plipisnya.

"Abi udah bilang, bun. Ini kecelakanaan,"

"Bunda gak mau tahu, kamu harus tanggung jawab!" tegas sang bunda membuat Abi menggeleng.

"Nggak bisa, bun. Abi udah punya orang yang spesial, gak mungkin Abi ninggalin dia!" tolaknya.

"Bunda gak mau tahu. Bunda bener-bener kecewa sama kamu, Bi!" ucap sang bunda kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua.

Abi benar-benar pusing sekarang, apa yang harus Abi lakukan?

"Kamu harus cari tahu dimana rumahnya, jika kamu merasa menjadi seorang laki-laki, harusnya kamu bisa bertanggung jawab dengan apa yang telah kamu lakukan. Ayah percaya sama kamu," ucapnya dengan menepuk bahu Abi pelan, kemudian berlalu dari sana meninggalkan Abi sendiri.

"Gue harus gimana?" monolognya dengan frustasi.

Dengan cepat Abi mencari nomor seseorang yang kenal dengan Abel.

"Hallo, gue mau tahu dimana rumahnya Abel!"

"....."

"Ck, tinggal jawab aja, apa susahnya, sih?"

"....."

"Oke thank's," ucapnya kemudian menutup telpon secara sepihak.

'Bukannya itu alamat rumah Citra?" batinnya bertanya-tanya.

Bersambung ....

Jangan lupa vote+comen yang banyak:)

Delusi(Abel x Abi) ||ENDING||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang