11

496 72 18
                                    

"Sampai kapan Lesti bisa menahan rasa sakit ini yaa Allah, rasanya teramat sangat sakit."

***

Fildan berjalan keluar rumah dengan penuh amarah. Bukan kepada Lesti, tetapi kepada dirinya sendiri. Fildan merasa gagal membahagiakan sang isteri. Apalagi melihat sang isteri menangis. Itu sangat melukai hatinya.

Seharian penuh Fildan berada di luar rumah. Ia habiskan waktunya di masjid dan bersilaturrahim dengan binaannya. Tanpa peduli jika tubuhnya sudah lelah.

Fildan baru kembali setelah selesai shalat Isya. Seisi rumah tidak ada yang bertanya, karena Fildan memang sudah mengabari mereka. Kecuali Lesti, Fildan tak menghubunginya sama sekali.

Saat memasuki kamarnya, seisi ruangan gelap gulita. Perlahan Fildan berjalan mendekati stop kontak lampu di dekat lemari.

Klik.

Tampak di ranjang Lesti tengah berbaring dengan membelakangi tempat tidur Fildan.

"Assalamu'laikum," salam Fildan. Namun tak ada jawaban dari Lesti.

Fildan segera mandi dan berganti pakaian, setelahnya ia naik ke atas ranjang. Didekatinya tubuh Lesti dan mengusap kepalanya.

"Sayang, Kak Fildan pulang. Maaf tadi kakak pergi lama. Sekalian ngisi anak - anak binaan kakak."

Lesti tetap tak mengeluarkan reaksi apapun.

Merasa tak ada jawaban. Fildan pun membaringkan tubuhnya. Namun tiba - tiba saja keberanian muncul dihatinya. Dibaliknya tubuh Lesti agar menghadapnya. Dan betapa terkejutnya ia melihat wajah sang isteri. Mata sembab dengan kelopak mata menebal, juga pipi dan hidung memerah karena terlalu banyak menangis.

Fildan memberanikan diri memeluk sang isteri. Diciumnya berkali - kali kening Lesti dan mengusapnya dengan lembut. Fildan juga menghapus bagian wajah Lesti yang kotor karena menangis dengan sapu tangannya.

"Maafkan aku sayang. Maafkan aku Lesti, isteriku. Maafkan aku." Terus diucapkan Fildan. Tetapi Lesti tetap tak memberikan respon apapun.

Fildan mendudukkan Lesti dan mengusap wajahnya lalu kembali menciuminya. Fildan benar - benar ketakutan sesuatu yang buruk terjadi pada sang isteri.

Perlahan Lesti membuka matanya yang terasa sangat berat.

"Sayang minum dulu ya."

Fildan memberi minum kepada Lesti. Gadis itu meminumnya sedikit dengan mata yang setengah terpejam.

"Lepaskan aku Kak."

Fildan menggeleng cepat, "tidak, sebelum kakak bisa pastikan Lesti baik - baik saja."

Lesti kembali menangis lirih. Tangannya mencoba menggeser tubuh Fildan. Tetapi dia tidak memiliki daya sedikitpun.

"Lepas Kak."

"Gak Lesti."

Fildan semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Lesti.

"Ane gak mau anti kenapa - napa sayang. Ane gak bisa."

"Kakak bohong, kakak bohong, kakak bohong. Lesti benci Kak Fildan."

"Les, jangan seperti ini. Jangan bilang benci sama kakak, hiks."

Fildan menangis melihat kerapuhan Lesti. Isterinya yang telah begitu banyak berbuat baik padanya kini tampak sangat menderita.

Lesti menegakkan punggung dan membuka matanya. Hatinya menghiba melihat air mata sang suami, namun amarahnya sudah tak terbendung.

"Kenapa kak Fildan yang harus menangis?, di sini aku yang menderita kan?, aku yang tersiksa, aku yang akan disalahkan atas segala hal buruk yang menimpa kak Fildan. Apa Kak Fildan gak puas?."

Bismillah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang