16

409 64 14
                                    

"Terimakasih untuk cintamu yang tak aku sadari ada, meski aku merasakannya."

***

Ifa menggendong Fadli mencari Fildan ke sekeliling rumah dan menemukannya di halaman. Tampak pria muda berusia 28 tahun itu tengah menelepon seseorang. Ifa pun mendekatinya. Ifa ingin menunjukkan hasil latihan suaranya.

"Hak (kak)."

Fildan menoleh dan memberi kode untuk menunggu. Tetapi dia tetap mengambil Fadli.

"Hallo Faul, ini ada Ifa sama Fadli. Mau bicara?."

Ifa bergerak mundur mendengar nama pemuda itu. Hatinya menolak untuk berbicara dengannya.

"Hhh hh (gak usah)." Ifa berjalan menjauh. Membuat Fildan kebingungan.

"Ifanya pergi dek. Udah dulu ya. Ane tunggu antum balik. Assalamua'laikum."

Fildan mengejar Ifa yang sudah menghilang ke luar pagar.

"Pak Pardi, Pak Pardi."

"Iya den."

"Tolong pegangin Fadli." Fildan menyerahkan Fadli pada Pak Pardi, satpam rumahnya lalu segera mengejar Ifa.

"Duh kemana sih dia?. Dia gak tahu jalanan Samarinda, mana keluar sedikit udah jalan raya ini," gumamnya mencari Ifa ke segala arah.

Fildan melihat sosok Ifa yang pergi ke bagian bukit tempat kolam renang Villa Tamara. Fildan segera mengejarnya.

"Ifa.. huh huhf, Ifa ngapain di sini?."

Ifa menatapnya sekilas lalu memalingkan muka.

"Kenapa dek?, tadi Faul mau bicara loh. Katanya sepekan lagi udah tiga bulan masa bakti di sana, jadi dia bakal ke sini jemput anti."

Ifa terus menggeleng dan menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Ada apa dek?," Fildan berbicara selembut mungkin agar Ifa tenang. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Ifa justru memeluk Fildan.

"Hei, aduh, Ifa, lupakah apa pesan kakak waktu itu?."

Ifa tak bergeming, justru semakin kuat memeluknya. Fildan mengedarkan pandangan ke sana ke mari. Syukurlah suasana perumahan sedang sepi karena hari libur. Jika tidak Fildan akan bermasalah jika terlihat dipeluk wanita seperti ini.

"Ahu mehinhai ahha." Fildan tertegun. Meski tak jelas apa yang Ifa katakan, tetapi susunan kata itu seperti sebuah ungkapan tak asing di telinganya.

"Apa dek?, Ifa ngomong apa?," tanya Fildan sambil terus berusaha melepaskan diri.

"Aku me..me.intaai a..kak." Kali ini terdengar agak jelas dan nyaris sempurna menjadi sebuah kalimat orang normal. Fildan merasa tak asing dengan suara itu. Namun yang lebih mengambil perhatiannya adalah kalimat yang dilontarkan Ifa.

Fildan melepas paksa pelukan Ifa dan memegang lengannya. Tatapan Fildan tajam, tetapi Ifa tidak menunduk takut seperti biasanya. Ifa membalas tatapan itu.

"If fa. Gak mam mau bab-bab balik sss sam-ma Ab-ba."

"Alhamdulillah kamu mulai bisa berbicara, tapi kenapa harus mengatakan ini dek?, Anti calon isteri Faul. Ane hanya abangnya antuma (kalian berdua)."

Ifa menggeleng cepat.

"Iffa gak ci-ci-cin-nta Ab-ba.Fffh Fau-Ul."

Fildan merunduk menangis mendengar perkataan Ifa.

"Ternyata ane telah dzalim kepada adik ane. Ane telah membuatnya kehilangan cintanya. Ifa, anti tidak boleh mencintai ane, ane hanya mencintai Lesti, dan selamanya hanya dia."

Bismillah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang