14

418 60 15
                                        

Perputaran waktu begitu cepat bagi semua orang  - orang di dunia. Namun tidak bagi seorang Fildan Fathcholis Hasyim. Baginya detik, menit, jam bahkan hari bergulir begitu lambat. Semua dimulai semenjak sang bidadari hatinya pergi dari dunia ini.

Pada tahun pertama, Fildan sampai tak ingin keluar rumah kecuali menyelesaikan amanah dakwahnya. Skripsinya pun tertunda 6 bulan karena masa pemulihan pasca dan pengurungan dirinya. Selama itu, hampir setiap harinya diisi dengan air mata, di setiap kali sujud ataupun menengadahkan tangan berdoa. Fildan benar - benar terpukul.

Setelah masa berkabung itu, Fildan mulai menggunakan fungsi tubuh dan waktu dengan sebaik - baiknya. Dia mulai berolahraga dari beladiri hingga gym. Aktivitas dakwahnya pun meluas, tidak lagi sekadar ke ranah para pemuda masjid dan mahasiswa kampus, namun juga para preman, anak tongkrongan cafe sampai ke ranah para petinggi perusahaan dan pemerintahan.

Di sisi lain, dia juga menjadi seorang pebisnis handal dan seorang aktivis partai Islam di Kalimantan Timur. Meski ia lebih ditempatkan kepada penggerak di dalam. Fildan tidak bisa menampilkan dirinya lebih karena menjaga para muridnya yang harus dijaga privasinya.

Semua itu dilakukannya untuk memenuhi kekosongan hatinya. Tentu dengan terus meluruskan niatnya. Fildan paham benar jika tidak ada hal yang boleh kita lakukan, kecuali niat Lillah (karena Allah).

Di antara salah satu mutarobbi (murid) suksesnya, adalah seorang dokter specialis bedah bernama dr. Fauzul Ahmad. Dia seorang aktivis dakwah yang mewakafkan diri untuk menjadi dokter lepas, atau lebih tepatnya bepergian ke berbagai daerah untuk menjalankan pengabdiannya. Pemuda asal Aceh itu menjadi putera angkat keluarga Fathcholis sejak kehilangan kedua orang tuanya dalam gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2004 lalu. dr. Fauzul yang lebih dikenal dengan nama Faul itu diajak tinggal Kalimantan Timur dan menjadi murid Ust. Fathcholis di pesantren modern binaannya.

"Assalamu'laikum ustadz."

Fildan yang tengah asyik berdzikir menoleh saat melihat Faul berdiri di hadapannya. Segera ia bangkit dan memeluknya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, Maasyaa Allah tabarakallah. Sudah bertahun tak menjadi murobbi (guru) antum, masih antum panggil ane dengan sebutan itu?," tanya Fildan.

Faul tersenyum dengan merundukkan kepalanya, "Ane adikmu, tetapi juga muridmu. Sedang posisi seorang murid di jalan Allah lebih tinggi daripada saudara kandung sekalipun."

"Na'am (ya). Tapi ane lebih menyukai antum panggil dengan kakak atau abang. Bukankah sebaik - baiknya panggilan adalah yang disukai oleh saudaramu?," balas Fildan dengan lembut.

"Na'am Kak."

"Ayo duduk dek."

Fildan mempersilakan Faul duduk di sampingnya. Diletakkannya tangan di atas pundak Faul, "bacakan ana hapalan yang melekat di hatimu saat ini."

Faul kembali merunduk dengan senyuman tipisnya, kemudian ia membacakan Qs Ar Rahmaan. Dan itu membuat sang ustadz muda tersenyum lebar sembari mengusap kepalanya lalu mendoakannya.

"Jadi, siapakah akhawat yang membuat hatimu menjadi penuh kasih itu dek?."

Faul semakin merunduk menyembunyikan rona merah yang menghiasi kulit putih bersihnya. Tetapi rona itu tidak bisa disembunyikan, karena telinganya pun tampak memerah di posisinya tersebut. Hal ini sama persis sebagaimana sang kakak apabila merasa malu.

Bismillah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang