☆Sesal Yang Menyesakkan

6 1 0
                                    

Mataku sudah terasa sangat perih. Sedikit lagi air yang menggenang di dalamnya akan keluar tanpa permisi. Tapi sebisa mungkin aku menahannya. Iya, akan kutahan sampai di mana aku bisa.

"Ra, kenapa matamu merah?" Tanya Kak Emi saat kita telah sampai di parkiran kantor

"Tadi, kak Emi terlalu laju bawa motor sampe itu ujung jilbab menampar pipiku" jawabku

"Astaga maaf Ra, maaf" ucapnya sambil menangkup kedua tangannya meminta ampun

"Iya iyaaa risiko di bonceng sama pembalap" kataku sedikit bernada candaan sebelum masuk lebih dulu meninggalkan kak Emi di parkiran

Sesampainya di ruanganku. Aku langsung mengunci pintu dan memutar musik dengan volume yang lebih tinggi dari biasanya. Entah, mereka akan mengerti atau merasa terganggu. Aku tidak sedang ingin di ganggu saja dan itu adalah satu-satunya cara agar tidak seorang pun menemuiku.

Pimpinan D.P

Selesaikan kerjaanmu
Sy menghadiri undangan rapat di luar

Siap, pak

Aku menghembuskan napas, merasa sedikit lega ketika mengetahui pimpinan sedang keluar. Jadi, aku tidak perlu merasa khawatir akan ditegur.

Saatnya, aku mengecek kembali aplikasi whatsapp ku. Dengan cepat membuka percakapanku dengan Rahmat, membaca dari awal aku mengirim pesan padanya sambil menunggu ia kembali menelepon. Itu pun jika memang ia masih ingin.

Rahmat RJ

Rahmat?
Kenapa?

Maaf, tadi lagi di jalan🙏

Lama menunggu, akhirnya aku memberanikan diri. Oh bukan, lebih tepatnya kehilangan malu untuk bertanya lebih dulu. Setelah menyiapkan beberapa jawaban dari kemungkinan pertanyaannya nanti.

Ini bukan kali pertama aku mengirim pesan padanya lebih dulu. Tapi, mungkin ini adalah kali pertama ia mengabaikan pesanku. Ia telah membukanya beberapa menit yang lalu. Dan tanda-tanda sedang mengetik sesuatu pun belum terlihat.

Baru saja aku ingin mengetik pesan lagi. Tiba-tiba ada panggilan masuk. Sempat berharap itu dia, namun nyatanya bukan. Itu adalah Darul

Ingin mengabaikan, tapi hatiku menolak. Aku yakin, ini hanya perasaan kasihan saja. Juga sebagai bentuk memuliakannya sebagai tamu. Tidak lebih.

"Assalamu'alaikum Zahra" sapanya di seberang sana ketika mengetahui telepon sudah tersambung

"Wa'alaikumsalam. Iye, kenapa?"

"Tante mau bicara katanya.."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, meski ia tidak bisa melihatku. Aku yakin ia pasti paham di seberang sana.

"Zahra, pulang jam berapa sebentar, nak?" Tanya mama

"Sore ma, paling jam 4 karena pimpinanku keluar"

"Iya.. nanti langsung pulang saja. Darul sudah mau pulang habis magrib" Kata mama

Kalimatnya sukses membuatku membeku, lidah terasa kelu. Jangan tanya perasaanku. Sepertinya ada yang terasa kosong seketika. Dan aku masih berusaha tersenyum meski dalam keadaan dipaksakan. Mengapa? Memang seharusnya aku berbahagia dengan kabar kepulangan dia, kan? Sebab itu artinya, aku bisa bebas lagi menjelajah dalam rumah sendiri tanpa takut bertemu dengannya yang bukan muhrim. Aku bisa bernapas lega tanpa memikirkan lamarannya lagi.

Setelah mengiyakan permintaan mama, aku segera menutup telepon seusai menjawab salam. Kembali memandangi chat di kontak Rahmat. Ia belum mengirim balasan. Semuanya jadi terasa hampa. Aku hanya mendengus pelan lalu kututup dan meletakkannya di samping mouse. Terserah, apa dan kapan pun ia mengirim balasannya. Aku tidak lagi peduli.

Sebelum dan SesudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang