☆Sabar dan Bodoh (2)

1 1 0
                                    

Sungguh, sabar dan bodoh itu berbeda

"Coba ulang Yuu" pintaku

Terdengar helaan napas diseberang sana, sepertinya sedikit lagi ia akan mengomel. Kedua telinga sudah kupasang dengan baik untuk mendengarnya, jariku pun sudah siap untuk mecatat setiap kata yang akan keluar dari mulutnya nanti. Murid yang pintar, bukan?

"Diulang dari mana lagi, Zahraaa?"

"Ya, dari yang saya tidak ngerti Wahyuuu" balasku dengan menirukan cara bicara yang sama dengannya

"Allahuakbar, Astagfirullah Zahra. Semoga Tuhan mengampunimu" ucapnya

Sebentar, sebelum menjawabnya aku tertawa. Aku tahu kejengkelan sudah menggerogoti hatinya secara perlahan. Namun, bersamaan dengan itu ia pun tengah mencoba bersabar. Itulah yang membuatku merasa sangat bersyukur bisa memiliki teman sepertinya.

"Eih, na do'akan ka bela. Makasih Wahyuuuuu" kataku dengan manja

Tak ingin memedulikan ucapanku, ia memilih diam beberapa detik sebelum kembali membuka suara. Padahal aku sudah menebak jawabannya andai dia masih ingin membalasku

"Dengar ka, awas klo masih belum ngerti. Kuceraikan sekarang juga"

Sama sepertinya, aku memilih diam. Ingin melihat bagaimana reaksinya. Yakin, tidak sampai semenit ia pasti ribut lagi.

"Zahra, oo Zahraa.." teriaknya "manako ini Zahra, rindu ka he"

Sumpah, Wahyu memang selalu punya cara untuk mengundang tawa. Bagaimana pun sikapku membuatnya kesal, ia pasti memiliki lebih bayak alasan untuk meredamnya. Mungkin disaat ia sedang buntu dan tak punya cara lagi, ia lebih memilih diam dari pada harus membentakku. Betapa bahagianya jika bisa terus bersama dengan lelaki seperti ini. Pikirku

"Astagfirullah apa yang saya pikir ini" gumamku saat tersadar dengan apa yang aku pikirkan

"Nah ini bisa jadi contoh. Orang yang bisa menghadapi perempuan seperti Zahra tanpa emosi, berarti dia benar-benar sabar. Tapi, catat di' tanpa emosi disini maksudnya, ada ji rasa marahnya hanya saja dia bisa kontrol.. Bagaimana, paham mi?" Tanya Wahyu di akhir kalimatnya

Belum sempat aku menjawabnya, ia kembali menambahkan

"Dan semoga Zahra bisa dapat orang yang seperti itu"

"Iye, paham.." jawabku 'dan semoga yang seperti kamu, Wahyu' lanjutku dalam hati

Sepersekian detik, tawanya sudah pecah di seberang sana. Aku sempat bingung, perasaan aku tidak melucu. Oh ataukah dia bisa tahu dan mendengar ucapan dalam hati orang? Pikirku. Tapi lagi, kutolak dengan tegas, tidak mungkin. Lalu, apa yang membuatnya tertawa?

"Weh Zahra.. maaf na, main-main ka tadi itu" katanya setengah tersengal

"Sumpah, Zahra itu tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk ujian kesabaran seseorang. Karena perempuan sepertimu sudah cukup baik. Meski masih harus tetap berbenah. Tapi, kagum ka ini, serius" lanjutnya

Sedang aku masih bingung kalimat mana yang dia maksud? Aku mencoba menebak. Dan seolah tahu dengan kebinganku, ia kembali mengingatkan dengan kalimat yang diucapkannya bahkan belum sampai semenit itu.

"Tadi yang kubilang, orang sabar itu klo bisa mi hadapi Zahra. Ingat? Ingat dong.." Aku hanya mengangguk mengiyakan

"Kita ambil contoh lain saja nah. Lebih gampang klo yang berkaitan langsung dengan kehidupannya Zahra.
Misal Zahra sama seorang laki-laki, toh? Contoh nama laki-lakinya Rahmat. Contoh ji ini na, jangan baper!" Wahyu mencoba mengingatkan.

Dan lagi, aku hanya mengangguk seraya bergumam. Tidak sabar menunggu lanjutannya

"Contoh sabar kan tadi sudah. Toh?"

"Yang mana?" Dengan cepat aku menyela ucapannya

"Hadede, sudah mi deh.. Nanti Zahra tanya ke Darul, dia itu cerdas pandai memilih contoh yang sederhana baru mudah di mengerti" jelas Wahyu

Ya, Darul lagi. Orang sudah enak bicara sama dia, malah disuruh ke orang lain. Masa iya bertanya lagi, padahal kemarin sudah dijelaskan. Tapi, terpaksa kuiyakan dari pada harus berdebat lama

"Hm, nanti mi.. Terus selanjutnya?"

"He.. Saya datang lamar Zahra-" belum sempat ia melanjutkan, dengan cepat aku memotong ucapannya

"Ku terima dengan setengah hati dong" jawabku

Aku pikir, ia masih akan meladeni candaanku. Ternyata malah mengeluarkan ancaman yang langsung membuat tawaku berhenti. Dasar laki-laki hobinya mengancam.

"Weh Zahra, sibukka ini nah. Kututup mi pale"

"Eh iya iyaa Wahyu, maaf.. lanjut mi"

Tak ingin membuang waktu lebih lama, ia langsung melanjutkan kalimat yang sempat kusela tadi.

"Tapi langsung ditolak dengan alasan hatinya Zahra sudah terlanjur berharap sama Rahmat. Padahal Rahmat sendiri belum beri kepastian atau sekedar memberi isyarat klo dia juga punya rasa dan harapan yang sama ke Zahra. Nah, itu namanya bodoh jangan lagi bilang menunggu dengan sabar.."

Deg.. jantungku? Seketika mulutku terkatup rapat mendengar ucapan Wahyu. Hatiku seakan jatuh terhempas saat tadi telah dibuat terbang setinggi-tingginya. Nyeri setiap kali ia berdetak memompa darah tapi seperti tersumbat disetiap pembuluhnya.

"Bodoh karena menolak laki-laki ganteng dan cerdas seperti Wahyu. Hahaha.." lanjutnya lalu disusul dengan tawa di akhir kalimatnya

Aku tahu, ia hanya bercanda. Tapi, sungguh ucapannya bisa menarik pikiranku ke Darul. Ya, Darul dan Rahmat. Mengambil contoh Rahmat, pasti bukan suatu kebetulan. Rahmat yang dimaksud Wahyu memang bukan Rahmat Rifa'i Jaffar, dia adalah Rahmat yang lain. Tapi, kenapa bisa seperti itu? Persis seperti..

"Darul ke mana pale? Masih di sana?" Tanya Wahyu mengembalikan kesadaranku

"Sudah pulang" jawabku singkat

Aku harap, ia tidak bertanya terlalu jauh dulu tentang Darul. Rasanya telingaku tidak sanggup saja mendengar nama itu disebut-sebut. Terlebih hatiku, yang belum siap menerima dan mengakui kesalahanku.

"Keluarga memang sama itu anak?"

Mendengar pertanyaannya, seketika aku ingin mematikan sambungan telepon. Namun, aku tidak akan pernah melakukan hal itu ke Wahyu. Ia tidak tahu apa-apa, dan aku tidak boleh melibatkannya. Meski pada akhirnya, aku tetap kembali ke dia saat aku ingin berbagi.

"Iya, keluarga. Kebetulan kemarin dia antar nenek ke sini"

Aku hanya mendengar Wahyu berucap 'oh' di seberang telepon. Lalu ia kembali melanjutkan dengan menyebut nama yang berhasil membuatku merasa sesak.

"Eh Zahra.. anu pale, hampir mi kulupa. Kemarin sempat ketemu sama Rifa'i, dia nitip salam sama Zahra. Cemburu dia itu.." jedanya seraya tertawa "katanya jangan cuma Wahyu terus, sekali-kali dia juga di telepon"

Bayangkan, aku harus menarik nafas panjang sebelum membalas ucapan Wahyu. Masih bingung, entah apa yang akan aku katakan.

"Kenapa tidak bilang, makanya jangan jadi orang sibuk. Saya kan tidak enakkan orangnya, takut mengganggu"

"Wajar sibuk Zahra, laki-laki mau ngumpul uang untuk halalkan calon makmumnya, toh?!"

Calon makmum? Jangan bilang selama ini dia menghilang karena memang sengaja ingin menjaga jarak denganku. Jika benar begitu, maka aku akan merasa telah menjadi perempuan terbodoh di dunia. Membiarkan hatiku terluka hanya karena seorang lelaki yang sudah pasti tidak ditakdirkan untukku. Dan hampir saja membuat hati yang lain ikut kecewa. Semua karena dia. Yang selama ini kusebut Rahmat.

Sebelum dan SesudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang