☆Sabar dan Bodoh

3 1 0
                                    

"Mau langsung pulang?" Ia bertanya, namun tidak menatapku. Hanya berbalik menoleh sebentar sebelum kembali fokus menyetir

"Iye.. eh, atau kita ada yang mau dipigikan?" Aku malah bertanya balik

"Tidak ada.. cuma tadi tante suruh beli terangbulan (itu martabak manis ya maksudnya) sama gorengan, itu di mana di'?" Kali ini ia bertanya seraya memalingkan wajahnya sebentar menatapku tersenyum lalu kembali fokus ke jalanan

Sekilas aku melirik, ia masih tersenyum samar di samping. Ternyata ia memang sangat manis ketika tersenyum seperti itu. Padahal aku sempat berpikir ia adalah orang yang sedikit cuek dan dingin.

"Ooh itu.. nanti kita terus sedikit jalur ke Palu sebelum belok"

Ia mengangguk kecil menanggapi ucapanku, tak lagi ada jawaban. Namun, saat aku hendak bertanya. Ia pun kembali membuka suara

"Saya.." ucapku bersamaan dengannya membuat kita saling pandang sebentar sebelum masing-masing kembali diam dan salah tingkah.

Beberapa menit, mobil sudah berhenti tepat di pinggir jalan samping gerobak penjual gorengan. Di sana sudah terlihat beberapa macam gorengan yang sudah menumpuk menunggu pelanggan untuk datang menjemputnya. Sangat menggiurkan, tapi mama pesannya cuma terang bulang.

"Mas.." sapaku ke abang penjual

"Ya mbak.. terang bulan?" Tanyanya, aku mengangguk lalu menyebutkan toping-topingnya

"Keju satu, coklat keju dua, sama.." sebentar aku berbalik menatap Darul yang berdiri tepat di belakangku "kita apa?" Aku sedikit mendongak, karena aku hanya setinggi batas bahunya

"Nda usah, yang itu cukup.." jawabnya tersenyum

"Itu suaminya mbak?" Goda si abang penjual karena baru kali ini aku datang bersama lelaki yang baru

Dengan cepat aku membantah sambil menyengir "Hehe bukan, Mas.." baru calon lanjutku dalam hati meliriknya malu-malu

"Gorengan, kita mau?" Mengapa kali ini aku sedikit merasa lebih berani bicara dengannya? Tapi biarlah, begini lebih baik dari pada aku harus terus menahan diri

Sekali lagi, ia hanya menggeleng namun tetap dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya. Aih manis betul anak orang ini. Bisa-bisa diabetes aku lama-lama berdekatan dengannya. Jadilah aku menggeser kaki sedikit demi sedikit sambil mengajak si abang mengobrol biar tidak terlalu kelihatan pergerakannya.

Sambil menunggu pesanan, aku masih terus berdiri diantara bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengantre, sama sepertiku. Hingga lama kelamaan rasanya orang semakin banyak berdesakan. Dan satu kaki telah menginjak kaki kananku. Perih, sumpah. Mana aku hanya memakai sendal swallaow.

Aku berbalik menatap Darul dengan wajah memelasku. Ternyata ia sudah sedikit berjarak di belakang sana. Namun, terlihat dari caranya menatap masih terus mengawasiku. Ia terlihat menahan tawa dengan kedua tangan ia masukkan ke saku celananya. Benar-benar tampan anak orang ini

Kakiku rasanya sudah mulai kram, hingga aku menarik paksa kakiku dan segera mengambil pesanan yang kebetulan sudah jadi. Ah sakit. Aku meringis mendekat ke arah Darul.

"Kenapa?" Tanyanya dengan tawa yang masih berusaha ia tahan

"Itu tadi, om nya injak kakiku" tak terasa aku sudah menunjukkan sifat manjaku ke Darul. Padahal itu adalah kebiasaanku ke Rahmat. Ya, hanya kepadanya aku selalu mengadukan semua kejadian yang kualami dalam sehari, sampai ia hafal intonasiku saat bermanja. Ais Rahmat lagi, lagi-lagi Rahmat. Padahal sudah ada Darul lelaki yang lebih bisa menghargaiku di sini.

Sebelum dan SesudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang