Yang mencintaimu
Bukanlah dia yang sengaja pergi
Dengan alasan ingin melihatmu bahagia
Sedang ia menyaksikan air matamu jatuh saat melepasnya
@HaserianiLaki-laki di depanku ini telah berhasil menamparku dengan kata yang tidak bisa kuhindari. Semua yang diucapkan tentangku benar adanya. Dia yang kutunggu selama ini memang belum tentu -oh bukan, yang tepat itu, memang tidak pernah- punya rasa sepertiku. Tapi aku seakan lupa diri karenanya. Menutup mata dan menganggap seolah sikapnya itu menunjukkan bahwa ia sebenarnya memiliki rasa yang sama.
Sesekali, kita memang membutuhkan tamparan keras untuk mengembalikan kesadaran. Agar tidak terus menerus terbuai dalam belaian yang hanya akan membuat kita lalai.
Aku hanya tertunduk lemah, rasa malu ini seakan membuat tulang leherku tak lagi berfungsi di depan Wahyu. Aku ingin menangis, tapi..
"Mau nangis?" Aku mendongak -jelas saja dengan mata yang sudah sedikit berembun- lalu dengan cepat kembali menunduk
"Nangis mi! Saya tunggu, kalau perlu sampainya habis itu air matamu"
Ini bukan Wahyu, aku belum pernah melihatnya seperti ini. Benarkah ia marah? Atau karena ia sudah lelah dengan sifat kekanak-kanakanku selama ini? Aku tidak tahu, tapi yang pasti air mataku sudah jatuh.
"Habiskan Ra, biar nda ada lagi tersisa" aku kaget
Suaranya terdengar melemah, tidak lagi sekeras tadi. Tapi itu tidak penting, hal yang paling membuatku kaget ketika aku merasakan tangannya mengusap lembut kepalaku. Jelas, ini bukan Wahyu
Diperlakukan lembut seperti itu, bukannya membuat air mataku berhenti malah aku semakin menangis sejadi-jadinya. Sesekali aku menggeleng sambil menggigit bibir bawahku berusaha menghentikan, namun jadinya aku sesenggukan.
"Wah, lap ki ingusmu itu!" Suara Wahyu kembali meninggi. Tapi inilah dia, Wahyu yang aku kenal.
"Lap ki Zahra, lap ki.. Weh" katanya sedikit histeris sambil menyodorkan kotak tissue ke depanku
Aku tertawa melihat ke arahnya seraya mengambil selembar tissue untuk membersihkan ingus dan air mataku. Sudah cukup. Aku tidak ingin menangis lagi. Kuhirup udara banyak-banyak seolah berusaha untuk mengisi semua rongga yang kosong agar tidak ada lagi cela untuk merasakan sesak.
"Lapar.." lirihku
"Itu makananmu," katanya menunjuk dengan sedikit mengangkat dagunya ke arah makanan "dari tadi na tungguiko, tapi diabaikan terus. Jadi dinginmi"
Meski begitu, ia lagi yang turun tangan menarik piring hingga berada tepat di depanku. Mengambil sepasang sendok dan garpu juga mengisikan air ke gelas. Tidak sekalian menyuapaiku saja, hingga aku hanya tinggal mengunyah dan menelannya.
Sudah menjadi rahasia umum, seorang Zahra tak pernah bisa menghabiskan makanannya dengan cepat. Pasti selalu lambat, tidak peduli banyak atau sedikitnya porsi yang ia pesan.
Seperti sekarang, kulihat Wahyu sudah beberapa kali menatapku sambil ia memainkan ponselnya. Masih tidak habis pikir, beberapa menit lalu Wahyu menunjukkan sisi lain darinya ketika marah. Tapi aku tahu, ia melakukannya sebagai bentuk perhatian dan kasih sayangnya ke aku.
"Sudah kenyang?" Aku hanya menaikkan kedua alisku sambil meneguk air dari gelas
Ia menyengir sambil berdiri dan memukul pelan kepalaku dengan sendok sebelum ke kasir. Dasar jahil
"Jadi, kuantar pulang mi?" Tanya Wahyu setelah ia kembali berdiri di depanku
"Kapan saya dibawa jalan-jalan?" Aku tak menjawabnya, malah balik melontarkan pertanyaan
"Nanti kalau sudah jadi istriku," katanya, kemudian menarikku ke parkiran. Sedang aku hanya bisa mengikuti langkahnya dari belakang dengan sedikit memanyunkan bibir
"Jadi bagaimana mi ini weh, kuantar pulang kah atau tidak? Mauka juga pulang ke rumah ini nah" belum sempat kujawab, ia sudah kembali melanjutkan, "kalau tidak mau, nanti kuturunkan di tengah jalan"
"Iya iyaa.. antar mi"
Ternyata hanya tinggal menunggu jawabanku, ia segera membelokkan mobilnya. Tapi ini bukan jalan yang biasa kulalui
"Kenapa lewat sini?"
"Ini jalan lebih bagus dari pada lewat gunung sana. Ini namanya Desa Palla'e nanti terus-terus saja ikuti jalan kita tembus di lorong tidak jauh dari mesjid Balusu satu" jelasnya
Sepertinya memang jalan baru. Seingatku dulu belum ada jalan seperti ini di sini. Apa lagi bisa sampai ke Balusu sana.
☆☆☆
"Ingat Zahra.. Zahra ini perempuan cerdas, dan perempuan cerdas nda boleh lemah kalau soal begitu. Apa itu? Na Zahra tau sendiri, yang namanya jodoh, rezeki sama usia kan sudah diatur sama Allah. Jadi senyumin aja, seperti Wahyu. Toh?" Katanya tersenyum dengan menaikkan kedua alisnya.
Aku mengangguk membenarkan semua yang barusan ia katakan. Aku memang bodoh telah menghabiskan waktuku untuk lelaki seperti Rahmat yang belum tentu menjadi jodohku. Dan juga, aku telah menumpahkan air mata hanya karena harapanku yang tidak sesuai kepada laki-laki yang memang tidak ditakdirkan untukku.
"Saya pernah baca itu potongan puisi dari Hasriani kalau nda salah judul bukunya Pengakuan Tanpa Suara, katanya begini. Yang mencintaimu bukanlah dia yang sengaja pergi dengan alasan ingin melihatmu bahagia, sedang ia menyaksikan air matamu jatuh saat melepasnya" ia menoleh sebentar, lalu
"Sudah sampai, turun mi!"
Aiss Wahyu memang.
Aku menyipitkan mata. Menatap tajam ke arahnya seperti melihat musuh. Bagaimana tidak, ia membuatku geram, padahal aku masih ingin mendengarnya berbicara lebih lama. Tapi apa? Ia menyudahi sesukanya. Dan ketika aku tak ingin mendengarnya, justru ia terus mengomeliku tanpa tau batas untuk berhenti.
"Kenapa?"
"Nda" jawabku singkat lalu dengan cepat membuka pintu dan kembali membantingnya dengan keras setelah aku menarik tas ku dari kursi belakang.
"ASTAGFIRULLAH.. WEH ZAHRAA"
Aku hanya terkikik mendengarnya berteriak. Tanpa menoleh ke arahnya, aku terus berjalan menaiki anak tangga satu per satu hingga sampai di depan pintu, dan aku baru berbalik
"Makasih Wahyu, nda usah singgah ya"
Entah mengapa, aku selalu merasa bebas menjadi diriku sendiri, menunjukkan siapa dan bagaimana Zahra hanya di depannya. Aku lebih sering berbuat semauku tanpa pernah memikirkannya. Padahal dia adalah orang yang selalu bisa membuatku kembali bukan hanya sekedar tersenyum, bahkan tertawa seberapa banyak pun masalah yang mencoba membekap dan membuatku sesak.
Seandainya saja..
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum dan Sesudah
Novela JuvenilCeritanya akan selalu berbeda dari sebelum dan sesudah kita lewati. Karena dalam hidup memang begitu, akan ada beberapa kisah yang menjadi pelengkap ceritamu.