☆Khawatir Menyesal (2)

3 2 0
                                    

Beberapa jam setelah sambungan telepon terputus, aku langsung mengetik nama Rahmat dan mengklik panggilan video. Semoga dia aktif. Batinku

Dan benar saja, hanya beberapa detik wajahnya sudah terpampang memenuhi layar ponselku. Senyum itu, adalah yang selalu kurindukan. Yang selalu menularkan ketenangan dan kebahagiaan.

Tapi, itu tidak lama. Senyumku tidak bisa bertahan sebagaimana dirinya di seberang sana ketika ia mengarahkan kameranya ke samping. Di sebelahnya ada perempuan cantik dengan wajah khas arab.

"Namanya Zirah" ucap Rahmat masih dengan senyum yang sama

Zirah?

Mendengar namanya, ingatanku seketika mundur. Mengingat semua puisi dan postingan yag ditujukan untuk inisial Z. Itu bukan aku, tapi perempuan itu.

Aku membeku, jika di depanku sekarang ada cermin tentu aku akan melihat wajahku yang pucat. Aku malu sekaligus sakit. Bagaimana mungkin, aku dengan percaya dirinya begitu yakin seorang Rahmat memiliki rasa yang sama untukku.

"Kenalkan, ini Zahra" lanjutnya mengenalkanku

"Hei, salam kenal Zahra.."

Cantik dan lemah lembut. Itu kesan pertama yang aku dapat di perkenalan pertamaku dengannya. Wajar saja jika Rahmat memang dibuat tergila-gila olehnya.

Aku teru menekan hatiku agar tidak perlu lagi mempertanyakan, siapa dia. Siapa perempuan cantik itu. Ada hubungan apa mereka. Sudah pasti inisial Z itu Zirah, bukan?.

'Zahra, jangan bodoh!' Batinku mencoba menekan semua perasaan yang mendesakku untuk menanyakan semuanya.

Senyumku masih terukir, tapi rasaku sudah hilang entah kemana tergantikan dengan kecewa yang teramat. Hati yang ku jaga untuknya selama ini, dipatahkan juga olehnya. Lelaki yang padanya kulabuhkan semua rasa dan harap. Kini menjadi lelaki yang telah menenggelamkan semuanya. Kejam.

Aku masih menatap mereka berdua, wajahnya yang memang memiliki sedikit kemiripan, senyumnya yang sama-sama menunjukkan kebahagiaan.

"Kenapa Zahra? Barusannya lagi vc" tanyanya yang berhasil menyadarkanku dari lamunan

"E-eh iya. Hehe tidak kenapa-napa, cuma kebetulan nda kerjaan" jawabku

"Ya sudah, bicara sama Zahra mi dulu di'. Ke kamar dulu sebentar" ujar Rahmat sebelum wajahnya menghilang dari sana

Lama aku mengobrol dengannya, Rahmat belum juga kembali. Kemana dia? Atau memang dia sengaja menghindar?.

"Iye, makasih di' nanti titip sama saja sama Rahmat. Bilang saya sudah meraju sama dia" kataku sedikit terkekeh

Ia pun ikut tertawa mendengarku sambil mengangguk pelan. Terdengar seperti candaan memang, tapi sebenarnya aku serius mengatakannya. Bahkan itulah ungkapan terjujur dari hatiku untuknya.

"Iye kak.." balasnya sebelum kami mengucap salam dan memgakhiri panggilan video

☆☆☆

Wahyu Indra

Wahyu..

O Wahyu, kemana ki sayang?

Muncul sai ki bela
Rinduka ini

Yu?

Bahkan, sampai berjam lamanya. Pesanku belum juga terbaca. Sudah lebih dari tiga bulan anak itu menghilang entah kemana. Rasanya aku sangat merindukan suara juga ocehannya sekarang. Aku ingin mengadu padanya. Tidak masalah jika aku harus dimarahi lagi.

Sesaat aku menghela napas. Bosan menunggu sesuatu yang tidak pasti seperti ini. Lama-lama jempolku bisa meleleh dari tadi berselancar dilayar ponsel.

Baru saja aku ingin melemparnya ke tempat tidur, deringnya sudah lebih dulu berbunyi. Melihat namanya sekilas, langsung saja ku jawab dan menodong si penelepon di seberang sana dengan berbagai pertanyaan. Bahkan tanpa menunggu jawaban salam lagi.

"Eee Wahyu.. Dari mana Yu? Lamanya baru muncul. Sempatka rindu bela. Barusannya juga chatku diabaikan tuh. Sibuk apa kah sekarang? Metto ini Wahyu deh-"

"Maaf Zahra.." suara itu berhasil menjeda ucapanku. Aku terdiam beberapa detik sebelum memcerna dengan baik.

Suara itu bukan milik Wahyu. Aku yakin bukan Wahyu, tapi suara..

"Ini Darul" ucapnya

Deg. Suara itu..

Ah sebentar. Aku akan menanyakannya nanti. Yang terpenting aku ingin mendengar suara Wahyu terlebih dahulu.

"Oh saya kira Wahyu. Kemana pale dia?" Tanyaku

"Saya ada di rumah sakit sama dia"

"Siapa yang-"

"Wahyu.. Sudah 3 bulan dia dirawat di sini" jawabnya memotong ucapanku "mau ki bicara?"

Aku hanya mengangguk. Menunggu suaranya menyapa gendang telingaku.

"Haloo, assalamu'alaikum Zahra"

Sumpah, aku menangis mendengar suaranya. Intonasinya masih sama, meski terdengar sedikit lemah.

"Wahyu jee.." hanya itu kata yang sempat keluar sebelum air mataku jatuh lebih banyak

"Kenapa weh? Sakit ka ini, nda tahan ka bicara lama-lama. Ngobrol sama Darul saja"

Sekali lagi, aku hanya mengangguk. Menunggu suara itu kembali tergantikan di seberang sana. Tapi, nyatanya suara lemah itu yang masih kudengar

"Maaf na Zahra.."

"Sakit apa Yu? Baru itu juga Darul nda pernah bilang-bilang" tanyaku seolah ingin menyalahkannya

"Na itu malam, baru mau na bilang langsung kamu matikan mi telepon."

Aku masih mencoba mengingatnya. Kapan? Perasaan aku tidak pernah langsung memutus sambungan telepon tanpa permisi

"Hah? Kapan?"

"Masih ingat, waktunya na bilang Darul nda bisa bicara lama-lama?" Tanya Wahyu yang berhasil menyeret ingatanku kembali ke sana

"Maaf Zahra, saya nda bisa lama-lama menerima telepon"

"Astagfirullah, iye maaf.." jedaku "cocokmi, cari mi pale perempuan yang lebih baik dari saya"

"Astagfirullah.." desahnya, namun suaranya masih terdengar tenang "Maaf Zahra, maksudku bukan-"

"Iye, saya paham. Tapi seriuska ini, kayaknya saya nda bisa sama kita" aku melirih di akhir kalimat seakan tak ingin jika ia mendengarnya

Sesaat aku menunggu, ingin mendengar suaranya lagi. Tapi sepertinya ia lebih memilih diam. Hanya terdengar helaan nafas di seberang sana

"Maaf di' assalamu'alaikum.." aku bahkan memutus sambungan telepon tanpa menunggu balasan salam darinya

Jadi, malam itu maksud Darul tidak bisa menerima telepon lama-lama, karena dia mengurus Wahyu. Ya Allah bolehkah aku menyesal sekarang? Aku malu padanya. Malam itu aku benar-benar melakukan kesalahan dan kebodohan yang berlipat. Pertama, karena kebodohanku sendiri aku sampai tidak tahu keadaan temanku. Yang kedua, aku telah memutuskan harapan dan mungkin saja sempat mematahkan hatinya.

"Maaf" lirihku

"Sudah mi pale deh. Bunuh mi. Nda sempat juga itu Darul bicara, ada na urus" ujar Wahyu setelah aku mendengarnya terbatuk

Aku mengiyakan. Dan kembali langsung merebahkan tubuhku saat telepon sudah benar-benar terputus.

Ponselku kulempar ke sembarang arah. Entah mau jatuh di mana, asal tidak terus ke lantai saja. Mataku menatap langit-langit kamar. Tak tahu apa yang sedang aku pikirkan, tapi rasanya mataku enggan tertutup.

Tiba-tiba, pikiran baru muncul. Aku ingin jalan-jalan ke sana, sekalian menjenguk Wahyu dan bertemu Darul. Pekan depan, insya Allah

Sebelum dan SesudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang