☆Sebuah Kejutan

5 2 2
                                    

Demi sebuah kejutan
Kendati berjuang dan berkorban seorang diri

Banyak yang bilang, perjalanan yang cukup jauh akan melelahkan. Entah itu karena duduk terlalu lama, tidak bisa tidur nyenyak, atau karena pusing dan mabok perjalanan. Tapi tidak denganku, meski sempat mual. Pantat sakit, badan pegal dengan wajah kusam itu bukan masalah asal bisa bertemu dengannya.

Melihat tugu selamat datang Kabupaten Barru, rasanya semakin tidak sabar ingin segera sampai. Sepanjang jalur yang dilalui, senyumku terus tersungging membayangkan ekspresi mereka ketika melihatku yang datang tiba-tiba. Siapa mereka? Selain keluarga, tentu yang kumaksud adalah Darul dan Wahyu, dua lelaki yang baru kusadari ternyata hanya mereka yang bisa menerimaku apa adanya

Kurang 7 km, mobil sudah memasuki bawah terowongan kereta api. Gelap dan su... nyi

Ya, harusnya jam segini sudah sunyi. Tapi kenapa jadi ramai dengan mobil yang mengarah keluar menuju Lampoko -Desa yang dilalui sebelum berbelok ke Balusu.

"Rame, ya?!" ujar sang supir

"He'em.. biasanya sudah sunyi klo tengah malam begini" jawabku

Tinggal beberapa meter, saat hampir tiba di depan rumah nenek, aku dibuat kesal dengan terowongan pengantin yang memenuhi badan jalan. Awalnya aku pikir mobil masih bisa lewat hingga aku tetap mengarahkan supir untuk tetap maju. Tapi nyatanya, tak ada cela sedikit pun, bahkan untuk pejalan kaki. Hingga kami terpaksa mundur beberapa meter lagi ke belakang

Sebelum diarahkan mundur dan lewat lorong. Aku menatap sekilas ke dalam terowongan. Mewah, perpaduan warnanya sangat cantik, biru muda lembut dipadukan dengan warna putih. Tapi aku tak bisa melihat mempelainya di dalam sana.

"Mundur ki pak, lorong sebelah lewat depan mesjid. Nanti kita tembus pas di belakang terowongan" seorang lelaki mengarahkan

Tidak sampai 5 menit, mobil sudah keluar dari lorong  tepat di belakang terowongan seperti yang dikatakan lelaki tadi.

"Ya.. di sini.." seruku

Dengan cepat, aku membuka pintu mobil dan menjulurkan kakiku. Tak ada tanda-tanda sambutan dari penghuni rumah karena memamg aku tak memberi kabar sebelumnya. Sengaja mau buat kejutan.

Mengingat tujuanku ke sini -bertemu Darul-, kepalaku dengan cepat berputar menoleh ke kanan di mana bagian belakang terowongan masih bisa terlihat sedikit. Aku menyipitkan mata sambil mengingat rumah Darul. Bukan kah terowongan itu tepat di depan rumahnya? Tapi siapa yang nikah?

"Assalamu'alaikum.. Ndo" Ucapku sedikit berteriak saat menginjakkan kaki di anak tangga terakhir

Aku biasanya memanggil Indo - orang bugis rata-rata menggunakan sebutan itu untuk ibu, tapi aku memakainya untuk nenek. Ibuku tetap kupanggil mama.

Ya, aku memilih menaiki rumah dari pada harus mencari jawaban untuk pertanyaan yang aku buat sendiri. Aku ingin beristirahat terlebih dahulu malam ini sebelum melanjutkan rencana besok pagi. Tapi, ternyata...

"Wa'alaikumsalam.. Awweee Zahra, manengka issemmu de'muappau elo'engka.." (Zahra, kenapa bisanya kamu tidak bilang mau datang)

Nah, itu hanya pembuka. Setelahnya masih banyak lagi ocehan khas orang tua yang memenuhi gendang telinga. Tapi aku sudah menganggap biasa hal seperti itu. Biasa ocehan orang tua yang mengkhawatirkan anak cucunya.

"Elo'na matinro ndo.." (saya mau tidur nek) kataku lalu beranjak ke kamar

☆☆☆

Aku memilih warna pink dan memadukannya dengan hitam untuk pagi ini. Dari gamis, jibab sampai kaos kaki warna pink. Sedangkan dalaman -manset dan leging- aku pakai warna hitam. Perpaduan yang cantik, menurutku.

Sebelum dan SesudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang