"Makasih Rahmat"
Aku berucap lirih dijok belakang. Tidak peduli ia mendengarnya atau tidak.
"Untuk apa?" Tanyanya sedikit berteriak
Eh, aku pikir ia tidak akan mendengarnya. Karena angin yang begitu kencang bertiup ditambah lagi dengan laju motor yang ia bawa.
Perasaan motor ini tadinya cukup laju, tapi kenapa tiba-tiba kecepatannya berkurang? Bukannya kita mengejar waktu untuk segera tiba di lapangan, agar aku bisa menonton sebentar sebelum mobil menyusul dan menjemputku di sana.
"Kenapa pelan?"
Mendengar pertanyaanku, bukannya menjawab ia malah tertawa. Aneh memang. Tapi aku juga ikut tersenyum karenanya.
"Suka balap-balap kah?"
Tanpa menunggu jawaban dariku, ia sudah kembali menambah kecepatannya. Bahkan sangat laju dari sebelumnya. Di belakang, aku tersenyum sebentar lalu memegang kedua sisi jaketnya dengan erat. Tentu saja tidak memeluk, ada ranselnya yang sengaja tidak dilepaskan. Katanya sebagai pembatas.
Sesekali aku membetulkan kaca mataku agar tetap bertengger dibatang hidung. Syukur aku diberikan masker, selain melindungi dari debu juga untuk dijadikan sebagai penahan agat kaca matanya tidak main perosotan.
Lumayan jauh, aku menikmatinya. Selain karena aku tidak lagi memakai mobil sampai sini, juga karena yang bersamaku sekarang, Rahmat. Mungkin.
"Ciee.. Senior, dapat boncengan tawwa"
Sempat kaget dengan motor yang tiba-tiba memepet kami. Ternyata mereka saling kenal, huft.
"Iya, dedeh canti'na mi lagi"
"Dapat di mana ki senior?"
"Beh, pantas mau ki pake motor"
"Ini mi kah?"
Awalnya aku pikir hanya seorang. Ternyata masih banyak lagi yang menyusul dari belakang. Dan sialnya, semua tak ada yang bisa diam. Sepanjang jalan, mereka terus menggoda.
"Eh nassami" ia menjawab seraya menurunkan kecepatannya
"Kapan pale dihalalkan?"
"Do'akan secepatnya, ahahhaha" mereka tertawa bersama "toh, Zahra?" Lalu ia setengah menoleh ke arahku.
Namun, diam adalah pilihan yang tepat. Aku tidak ingin menanggapinya kecuali dengan senyum. Ya, sedari tadi aku tersenyum, hanya saja terhalang masker hingga mereka tidak dapat melihatnya.
"Bagaimana pale kabarnya Zirah?" Entah angin dari mana, aku tiba-tiba saja ingin menanyakan gadis cantik itu
"Baik-baik ji kayaknya itu"
Aku mengernyit mendengar kata "kayaknya" seperti ada sesuatu yang aneh antara mereka.
"Kenapa na kayaknya? Nda pernah ketemu kah?"
Biasa, rasa penasaran seorang Zahra sangat mudah dipancing dengan hal-hal kecil seperti itu. Bagaimana mungkin sepasang kekasih tak pernah bertukar kabar hingga mereka hanya sekedar menerka-nerka tentang keadaan pasangannya. Aneh.
"Jarang, sejak dipindah tugaskan suaminya-"
"Hah? Suami? Ada je suaminya?"
Spontan aku memotong ucapannya. Hanya untuk memastikan pendengaranku masih baik-baik saja. Apa katanya? Suami? Zirah punya suami, terus, Rahmat?
"Na iya toh, ku kira kenalan waktu VC ki lalu"
Sumpah, aku masih bingung dan malah semakin terjebak dalam kebingungan. Sama sekaki tidak mengerti dengan ucapan lelaki ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum dan Sesudah
Dla nastolatkówCeritanya akan selalu berbeda dari sebelum dan sesudah kita lewati. Karena dalam hidup memang begitu, akan ada beberapa kisah yang menjadi pelengkap ceritamu.