☆Dalam Rengkuhan Sesal

5 1 0
                                    

Terlalu acuh. Memasrahkan semuanya kepada takdir
Hingga akhirnya menyesal tak pernah khawatir

Sudah jadi qadarullah. Penyesalan memang selalu ditempatkan di akhir. Tak pernah sekali pun bertukar posisi dengan rasa penasaran yang adanya selalu di awal.

Jika kalian ingin menyumpahkanku agar menyesal, ku pikir tak perlu. Karena aku sudah merasakannya sekarang. Bahkan sangat menyesal.

Entah dosa apa yang telah kuperbuat, hingga aku ditimpakan rasa sakit seperti ini. Luka yang ditorehkan Rahmat belum sepenuhnya sembuh. Berharap agar Darul bisa menjadi penawarnya, ternyata ia hanya menambahkan. Ada apa dengan diriku? Mengapa takdir begitu kejamnya

"Zahra.." sapanya

Suara itu..

Aku menelan ludah sebelum berbalik ke sumber suara. Menatapnya beberapa detik lalu menurunkan sebalah kakiku yang sempat memasuki mobil.

"Mau ke mana?" Tanyanya

Syukur aku memakai kacamata. Sepertinya ia tidak bisa melihat dengan jelas mata yang sudah berair dibaliknya.

"Jalan-jalan" jawabku singkat dan segera melangkah kembali ke mobil

Aku tak ingin bertemu dulu dengannya. Aku malu dan aku tak ingin lagi merasakan sakit yang lebih dari ini nantinya.

'Alhamdulillah kamu sudah sembuh..
Maaf, kali ini aku mengabaikanmu' batinku menatapnya dari kaca belakang mobil

Menjauh adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Hanya sekedar ingin merawat dan menyembuhkan luka. Jika perlu, sekalian membuang harapan juga menutup pintu hati dengan rapat serapat-rapatnya.

Di belakang sana, ia masih berdiri mematung menghela napas. Melihatku, oh bukan lebih tepatnya melihat mobil yang kutumpangi ini.

Tatapan itu, aku tidak tega melihatnya. Tapi aku harus tetap memaksa diri untuk tidak menggunakan perasaan lagi. Sudah cukup rasaku dipermainkan takdir seperti ini.

Setengah mati kutahan isakan agar tidak terdengar oleh penumpang lainnya, kendati harus menggigit bibir. Syukur aku menggunakan masker, hingga tak ada satu pun yang akan mengenaliku.

☆☆☆

Merasa sudah sedikit aman, aku baru meminta sang supir untuk menurunkanku di halte. Entah apa yang akan kulakukan di tempat ini, nanti kupikirkan lagi.

Melihat mobil yang tadi kutumpangi semakin jauh, aku hanya tertunduk lemah menyandarkan punggungku ke dinding halte. Meringkuk memeluk lutut membenamkan wajahku diantaranya. Mengeluarkan semua air mata yang sedari tadi tertahan, aku tak ragu, malah semakin terisak hingga kepalaku termangut-manggut. Sekarang, aku benar-benar sendiri. Tidak tahu lagi harus kemana.

Setelah berjam lamanya duduk di sini seorang diri, telingaku samar-samar menangkap suara adzan ditengah bisingnya kendaraan yang berlalu lalang di depanku. Ternyata sudah masuk waktu Dzuhur. Tapi, aku masih memilih untuk menunggu sebelum berjalan kaki menuju sumber suara tadi.

Selangkah demi selangkah, aku terus menyusuri trotoar di bawah terik matahari. Tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang melihatku sepanjang jalan. Mungkin aku memang terlihat sedikit aneh, memakai gamis panjang dan besar di bagian bawahnya sambil menggendong ransel di punggungku. Mereka tidak tahu saja dengan perasaanku sekarang. Sunyi di tengah keramaian.

Tidak jauh, di depan sana sudah terlihat puncak menara mesjid. Sudah kuniatkan juga akan beristirahat di sana saja nantinya. Mungkin tidur siang. Sebelum kembali melanjutkan perjalananku yang tidak jelas ini. Andai saja Rahmat masih seperti dulu. Pasti sudah kuminta untuk menjemputku di sini.

Sebelum dan SesudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang