☆Gema Takbiran

3 2 0
                                    

Karena, penyesalan selalu saja tersenyum menunggumu dipenghujung waktu. Jika ia menemukanmu. Meski dengan  meraung, meratapi betapa banyak yang telah disia-siakan. Dekapannya tak akan terlepas
@hase_riani

Setelah melalui bulan ramadhan dengan penuh ibadah didalamnya. Sampailah kita dimalam terakhir dimana takbiran akan menggema dimana-mana. Disinilah, rasa bahagia dan sedih itu datang berbarengan.

Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar
Laailaha'illallahu Allahuakbar
Allahuakbar Walillahilhamd

Usai sholat magrib, sudah mulai terdengar samar-samar beberapa mesjid terdekat menggemakan takbiran. Perlahan semakin jelas dan ramai terdengar.

Aku sudah bisa membayangkan wajah bahagia orang-orang yang sedang duduk takbiran -di masjid- sekarang.

"Alhamdulillah, takabbere'ni tau e" (Alhamdulillah, orang sudah takbiran) ucap nenek sambil mengikat buras yang dibantu dengan ke tiga anak perempuannya beserta cucu-cucunya

Setelah mendengar gema takbir barusan, mereka semakin buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Setidaknya setelah shalat isya nanti, burasnya sudah harus direbus

Yah, membuat buras dan tumbu-tumbu menjelang lebaran, memang sudah menjadi keharusan bagi orang Bugis. Bukan juga sebagai budaya atau tradisi, bukan. Hanya saja, rasanya sudah menjadi suatu kewajiban untuk menghidangkan buras dan tumbu-tumbu dihari lebaran.

(Buras = nasi yang dimasak dengan santan hingga setengah matang, kemudian dibungkus dengan daun pisang yang masih muda. Sedangkan tumbu-tumbu = beras pulut yang dimasak hingga matang sebelum dicetak dan dibungkus juga menggunakan daun pisang) Setelah dibungkus daun pisang, semuanya kembali direbus menggunakan wajan atau belanga besar (asal muat) hingga benar-benar matang. Tujuannya agar bisa tahan sampai beberapa malam atau bahkan 1 pekan.

Mulai terdengar ramai, suara orang takbiran di masjid sana. Semakin bertambah pula semangat dan rasa bahagia menyambut hari esok.

Tetapi suara yang sangat jelas terdengar ini "Allaaah... huakbar. Allaaahuakbar.. Allaa.. aa.. huakbarr.
Laaah.. hh.. ilaaha'illallaaa aah.. huallahuakbar
Allaahuakbar walillaaa.. aa.. hilhamd"

Suaranya yang begitu merdu, dan sesekali terisak menahan tangis. Suasana hatiku juga seakan ikut terbawa seolah merasakan sayatan yang membuat si pemikik suara merdu itu tersedu. 'Darul?' batinku 'iya itu suara Darul'

'jadi, kita dapat mengetahui berkah atau tidaknya semua ibadah yang dilakukan selama bulan ramadhan ini dengan melihat tingkat ketaqwaan kita setelah bulan ramadhan berlalu' seketika aku kembali teringat dengan ceramah pemuda itu kemarin malam

Mengapa kali ini rasanya berbeda?
Berpuluh tahun aku selalu menyambut hari raya dengan penuh kegembiraan, tapi kali ini.. "Sesak" mungkin itu kata yang tepat mewakili rasaku sekarang.
Rasanya, aku masih ingin tinggal beberapa saat lagi. Mengisi waktu yang telah ku sia-siakan kemarin.

Aku segera mengisi kursi kosong yang berada didekat jendela. Sesusai shalat isya tadi, semua orang rumah kembali dengan kesibukan masing-masing.

Para orang tua sudah mulai merebus buras dibwah kolom rumah. Adik-adik sepupuku entah pada kemana. Tetapi sebagian dari mereka, sepertinya masih ada di kamar. Suaranya berisiknya masih terdengar jelas dari dalam sana.

Sambil melanjutkan menulis ceritaku di wattpad, aku menatap ke luar jendela. Melihat berbagai macam warna lampu yang sengaja dihias untuk menyambut hari esok. Seolah lampu-lampu itu menjadi penawar rasa sedih mereka ketika melepas ramadhan pergi

"Kak, ayo keluar takbiran" aku tersentak mendengar suara yang baru saja menusuk gendang telingaku

"Ahh saya lagi malas keluar dek" jawabku sedikit malas

Sebelum dan SesudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang