Zeta melihat Rena ke luar kamar, lalu tatapannya turun pada bahu cewek itu yang terbuka. Rena memakai cropped tank top dengan style v-neck, dan bekas merah lebar di bahu cewek itu terlihat jelas.
“Udah gue bilang pake baju panjang yang longgar,” kata Zeta setelah mendengkus kesal. “Liat kulit lo kebakar,” lanjutnya sambil mengedik ke arah bahu Rena.
Rena cemberut. “Tadi pake jaket, kok. Emang panas banget, aja,” sanggahnya tak ingin kalah. Rena berjalan lurus ke arah dapur, hendak mencari teh kamomil.
“Jaket apaan bolong-bolong,” Zeta menggerutu.
Tidak mengindahkan gerutuan Zeta, Rena membuka toples-toples kaca cantik di meja pantry. Sampai pada toples-toples pada lemari kecil di atasnya. “Lo nggak punya teh kamomil?” tanya Rena kesal.
“Kenapa?”
Rena mengedikkan bahu kanan, tempat kulitnya yang memerah terbakar. “Ngompres.”
Zeta beranjak dari sofa, cowok itu bilang akan ke luar sebentar dan Rena tidak boleh ikut. Rena mendesis kesal, tidak punya pilihan selain diam di dapur sambil mengunyah roll cake yang mereka beli dari salah satu toko dekat gedung apartemen sepulang sekolah. Rena menghabiskan roll cake dalam waktu sepuluh menit, dan tidak pernah sekalipun berpikir untuk menyisakan bagian Zeta. Sampai kemudian Zeta kembali entah dari mana, cowok itu menuju dapur dengan plastik putih berisi krim pelembab dan teh kamomil.
“Gue nggak pake krim,” ujar Rena setelah meletakkan krim ke luar plastik.
“Kata orang apoteknya bahan krim itu nggak bakal bikin kulit lo kenapa-napa,” balas Zeta santai. “Kalo gak mau pake ya udah.”
Rena mendengkus pelan, lalu segera menyeduh teh kamomil, dan mencari waslap di pantry. Zeta diam di sana meskipun Rena sudah memelototinya. Maksud Rena, dia tidak butuh bantuan, dan Zeta bisa pergi ke sofa lagi atau ke kamar. Asal jangan memperhatikan Rena seperti itu.
Setelah merendam waslap di dalam seduhan teh kamomil yang jadi dingin, Rena segera mengambil waslap untuk mengompres bahunya. Untuk beberapa detik, dia lupa Zeta masih di sana. Dengan santai Rena menurunkan satu tali cropped tank top dan mulai mengompres bahunya.
“Anjir!” seru Rena saat berbalik menghadap meja makan, dan Zeta bersandar di sana sambil melipat tangan di dada. “Ngapain lo masih di sini?” Rena bertanya sebal.
Zeta mendesis pada Rena sekilas, sebelum memperhatikan tangan cewek itu yang menempelkan waslap ke bahu. Sebelumnya Zeta juga pernah terbakar sinar matahari, tapi tidak separah itu. Rena ingin minum, dia mengambil gelas dengan tangan kiri, lalu berganti memegangi waslap dengan tangan kiri saat ingin menuangkan air mineral dari teko kaca ke gelas; dengan tangan kanan. Tangan kiri Rena jarang bergerak atau membawa beban berat, jadi rasanya tidak cukup kuat untuk menuangkan air ke dalam gelas.
“Sini.” Zeta mendesis lagi, sepertinya risih melihat Rena kerepotan hanya untuk minum. Dia berganti memegangi waslap supaya tetap menempel di bahu Rena, sesekali memperhatikan cewek itu saat minum dengan cepat. “Harusnya sambil tiduran aja biar nggak jatuh,” imbuh Zeta santai.
“Ya nggak usah grepe-grepe juga, sih!” Rena berseru kesal saat jemari Zeta—entah refleks atau tidak—menyentuh dada Rena.
Zeta menyeringai singkat. “Nggak sengaja,” ujarnya sambil mengedik acuh tak acuh. “Dada lo juga kebakar,” lanjut Zeta.
“Nggak parah,” balas Rena tenang.
“Tetep aja kebakar.”
Rena merasa tarikan napasnya jadi berat saat Zeta tanpa persetujuannya tahu-tahu mengoleskan krim pelembab di pertengahan dada Rena. Rena mengembuskan napas pelan, jemari Zeta bergerak terlalu pelan ke bawah, dan tatapan cowok itu mengikuti gerak jemarinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderrena [KARYAKARSA]
RomanceGimana kalau teman seapartemenmu ternyata cinta pertamamu waktu TK? * * * Content warning(s); alcohol; harsh words; smoking; dirty jokes; dirty pick up lines; kissing, etc. Jangan dijiplak! 🔪