[18] We Will Never

18.3K 3.3K 2K
                                    

HAPPY 100K READS! 🥳

ABSEN DONG SINI

𝕮𝖎𝖓𝖉𝖊𝖗𝖗𝖊𝖓𝖆

“Jangan marah dulu!” bujuk Rena masih sambil berdiri di dekat Zeta yang hanya memasang tampang acuh tak acuh. Zeta sedang mengerjakan latihan soal dari laptop, sepertinya Matematika, karena banyak rumus dan angka pada buku di kaki kanan cowok itu. “Gue nggak mau ngapa-ngapain, kok. Cuma ketemu, aja, terus ada yang penting pengen diomongin. Kalo nggak percaya, ayo ikut!”

Zeta menatap layar laptop sambil menulis angka-angka yang terdapat pada soal, lalu mendapatkan rumus yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang dimaksud. Dia benar-benar tidak mendengarkan Rena, tidak ingin menanggapi cewek itu bahkan saat Rena berusaha membuat Zeta menatapnya.

“Oke, gue pergi, nih. Jangan marah! Nanti jemput, ya. Kalo nggak dijemput, gue nggak balik.” Rena hampir berbalik pergi, tapi kemudian menatap Zeta lagi karena melupakan sesuatu. Zeta mendecih sinis ketika Rena menjatuhkan ciuman di tulang pipinya. “Berangkatnya pake taksi, kok. Aman!” ujar Rena sambil tersenyum lebar sebelum benar-benar ke luar apartemen.

Rena akan bertemu Dante sore ini, membicarakan hal penting lainnya. Titik pertemuan mereka ada di sebuah restoran di tengah kota. Padahal Rena serius ketika mengajak Zeta untuk pergi bersamanya supaya cowok itu tidak marah. Mengingat perkataan Jiana, Zeta pasti akan bertambah kesal lagi pada Rena jika dia tidak bilang ingin bertemu Dante. Tapi saat Rena meminta izin pun, cowok itu kelihatan kesal.

Biasanya Dante tepat waktu, kali ini Rena tidak melihat cowok itu di seluas ruang restoran Eropa terkenal ini. Rena segera duduk sesuai nomor meja yang sudah Dante beritahu padanya melalui pesan singkat di akun Instagram. Hanya setelah Rena menemukan posisi nyaman untuk duduk, seseorang menepuk bahunya dari belakang.

“Hei. Mana Zeta?” tanya Jiana sambil melihat ke sana kemari.

Rena heran kenapa Jiana selalu ada di mana saja. “Gue sendiri,” ucap Rena apa adanya.

Jiana mengangguk paham sambil memberi ‘oh’ panjang, kemudian dia menarik kursi di depan Rena untuk duduk. Jiana menyingkirkan buku menu di depannya untuk meletakkan tas, mengambil ponsel lalu memeriksa sesuatu. “Mau ketemu siapa?” Jiana bertanya lagi, meski sedang memegang ponsel, tatapannya ke arah Rena saat bicara.

“Dante.”

“Oh.” Jiana tersenyum pada Rena, kemudian melihat ponsel lagi sebentar sebelum meletakkan benda itu di meja. “Sama, dong,” lanjutnya santai.

Alis Rena langsung berkerut, jantungnya tersentak mengirimkan firasat buruk ke otak. “Hah?” Rena menganga kecil. “Kok, bisa kebetulan banget? Ada urusan apa?” tanyanya penasaran setengah mampus.

“Pesen minum dulu, yuk. Kayaknya anak itu ada masalah di jalan.” Jiana tersenyum sekilas, kemudian memanggil waiter untuk memesan dua frappe.

“Ada urusan apa?” Rena mengulangi pertanyaannya, kali ini lebih serius dan memaksa.

“Reuni, aja. Temen gue waktu SMP.”

Rena ingin percaya, dia berusaha keras, tapi tidak berhasil karena dirinya justru semakin penasaran. “Lo tinggal di gedung apartemen yang sama kayak Zeta?” tanya Rena curiga.

Kali ini alis Jiana yang terangkat, kemudian dia tertawa manis. “Nggak, lah. Gue masih tinggal sama orang tua,” jelasnya santai.

“Gue nggak percaya lo—”

Sorry, ada insiden kecil—”

Mereka menoleh serempak ke arah Dante yang tiba-tiba juga menghentikan ucapannya seperti Rena. Dante melihat Jiana, terkejut, lalu melihat Rena, dan tetap terkejut. Walaupun setelah itu Dante bersikap sangat tenang dengan tersenyum.

Cinderrena [KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang