[16] Another Level of Love

21.1K 3.4K 2.1K
                                    

Zeta belum pulang setelah dua jam, Rena jadi penasaran cowok itu pergi ke mana. Rena berdandan setelah mandi sore, dengan jeans pendek—tidak sampai setengah paha—dan atasan tank top dilapisi t-shirt berpola jala. Membawa ponsel dan RFID card di dalam tas kecil, Rena tidak sedang ingin jalan-jalan bersama Dante. Dia hanya akan ke luar sendirian.

Cuaca tidak panas, cerah berawan sehingga matahari ditutup oleh gumpalan awan. Udara masih cukup panas, tapi syukurlah Rena tidak sampai berkeringat. Dia hanya berkeliling kota, menjelajahi trotoar, lalu memilih minum dan camilan di Alfamart sangat lama hanya karena membutuhkan udara dingin dari AC.

Malamnya ketika Rena berjalan di trotoar, menuju halte bus yang masih jauh di depan, hujan turun deras begitu saja. Membasahi permukaan bumi bagian darat di pusat kota. Rena sudah telanjur basah ketika sampai di halte bus, dia sedikit kedinginan karena angin bertiup kencang. Untung saja ponsel dan RFID card Rena aman, tas-nya punya lapisan anti-air.

Rena tidak sendirian, ada beberapa orang yang juga duduk di halte, tapi tidak mempedulikannya. Lalu dua perempuan pergi setelah sebuah mobil datang, meninggalkan Rena dengan seorang cowok yang tampak sedikit lebih tua dari Zeta. Rena mulai waspada karena merasa sedang ditatap, lalu terkejut setengah mati ketika cowok itu tiba-tiba ada di sampingnya.

“Dingin, ya? Mau mampir ke rumah gue dulu nggak? Ganti baju.”

Segera menggeleng, Rena tahu itu hanya tipuan. “Nggak usah, jemputan gue bentar lagi dateng.” Rena mencari ponselnya dengan tangan sedikit bergetar, pura-pura menelepon seseorang padahal dia mematikan ponsel sebelumnya.

“Pengen nipu gue, ya?” Cowok di samping Rena terkekeh geli. “HP lo mati tuh, keliatan, kok.”

Menelan ludah gugup, Rena pura-pura cuek pada cowok itu, dia segera menghidupkan ponsel untuk sungguhan menelepon Zeta. Hanya mobil yang lewat di jalan depan, tapi hanya beberapa dan terlalu cepat. Rena tidak bisa minta pertolongan karena di belakangnya adalah jalanan juga.

“Mau gue angetin nggak? Badan lo menggigil dari tadi.”

“Jangan sentuh gue!” seru Rena murka saat cowok itu tanpa persetujuan hendak merangkulnya. Padahal Rena sedang berusaha menelepon Zeta, dan Zeta menerima panggilan.

“Niat gue baik, nih.” Cowok itu tersenyum.

Rena mendecih sinis. “Gue nggak butuh kebaikan lo!” Rena mendelik galak, tapi itu justru membuat cowok di sampingnya semakin penasaran.

Baru akan bicara dengan Zeta di telepon, tapi sambungan sudah terputus, Rena segera memasukkan ponsel ke tas. Sepertinya Zeta akan sedikit terlambat jika cowok itu sungguhan datang, karena cowok di samping Rena tidak tahu malu, dan baru saja melingkarkan tangannya di pinggang Rena. Tidak punya pilihan lain, Rena berdiri, hendak lari ke mana pun asal tidak bersama cowok gila kehangatan ini.

Sialnya, Rena ditarik sampai dia duduk di pangkuan cowok asing itu, dia tahu apa yang akan terjadi, dan itu sempat membuat Rena panik. Rena memijak satu kaki cowok itu dengan kedua tumit sepatu, kuat-kuat. Setelah pegangan di pinggangnya melonggar, Rena segera berdiri, masih sempat berniat menendang selangkangan cowok itu saat cowok itu turut bangkit.

Tapi terlambat, sudah ada tangan lain yang menarik cowok itu dari samping, melempar pukulan kuat di tulang pipi kiri. Rena terkesiap kaget, mundur satu langkah lebar saat cowok asing yang hampir membuatnya menangis takut itu jatuh sambil memegangi tulang pipi. Sebelum cowok itu sempat bangkit, Zeta mengayunkan satu kaki ke arah sisi kepala lawannya.

Mata Rena melebar beberapa detik, tersengal-sengal sendiri padahal bukan dirinya yang sedang menghabisi seseorang. Satu kaki Zeta bertumpu di tengkuk lawannya yang sudah terbaring telungkup. “Beruntung lo,” ucap Zeta dingin. “Lain kali kalo lo muncul di depan gue lagi, tangan lo bakal patah dua-duanya.”

Cinderrena [KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang