[10] An Underrated Feeling

20.3K 3.5K 1.1K
                                    

Harusnya, jika memang berniat ingin kencan dengan Cajsa, Zeta tidak perlu pura-pura bertanya “Lo mau nitip apa?” pada Rena. Pantas saja cowok itu tidak mengizinkan Rena ikut, Zeta pasti sengaja membawa motor, supaya Cajsa bisa dekat-dekat padanya. Rena mendecih, katanya hanya ingin ke luar sebentar, bukankah lebih baik Zeta bilang “Gue mau jalan sama Cajsa”?

Jadi, begini rasanya saat Zeta melihat Rena bersama Dante? Maksud Rena, dia hanya pamit untuk mencari minum, dan berakhir dengan cowok yang menurut Zeta adalah “cowok asing”. Inti kejadiannya kurang lebih sama seperti Zeta sekarang. Rena kesal karena cowok itu tidak jujur saja.

“Kenapa lo pulang?” tanya Rena ketika melihat Zeta baru saja masuk apartemen. Rena sudah kembali duduk di sofa setelah mengurus sesuatu di kamar mandi.

Zeta menatap Rena aneh, dengan sebelah alisnya yang sempat terangkat sekilas. “Gue cuma pergi 30 menit, apa itu terlalu lama sampe lo nggak sabar liat gue lagi?” jawabnya setengah bertanya.

Rena mendecih, lalu memasang ekspresi jijik. Dia bangkit dari sofa, mengikuti Zeta ke dapur. Zeta meletakkan plastik putih ke meja, dan Rena ingat benar ada pesanannya di dalam sana. Tapi kali ini, Rena ingin meminjam RFID card supaya bisa ke luar apartemen, sendirian.

“Pinjem RFID card,” pinta Rena dengan nada tak pantas; ketus.

“Mau ngapain?” Zeta bertanya santai seakan Rena hanyalah anak kemarin sore, yang bahkan belum bisa bicara.

“Nggak usah sewot. Gue bilang pinjem, kasih aja kenapa, sih.” Rena terdengar dua kali lebih ketus.

Zeta meletakkan gelas ke meja setelah minum. Dia menatap Rena lurus ke mata cokelat cewek itu, tapi Rena tidak berani balas menatapnya. “Lo baru aja bilang kurang-lebih sejam yang lalu, kalo lo nggak mau di elevator sendirian.” Zeta mengulang pernyataan Rena sore tadi.

“Cuma ke Alfamart depan,” balas Rena singkat.

Melihat tingkah Rena yang cukup aneh, Zeta akhirnya memberikan RFID card miliknya. Rena menyambar kartu itu begitu saja, tapi Zeta menahannya sebelum pergi. “Jangan gitu doang.” Zeta menatap bahu dan dada Rena sekilas. “Pake jaket.”

Rena menarik tangannya dari pegangan Zeta, lalu berkata, “Gue bawa payung.”

Dengan ekspresi yang sama sejak tadi, Rena pergi dari dapur dan mengambil payung kecilnya di sofa. Dia benar-benar nekat ke luar apartemen sendirian, tapi untung saja di elevator ada seorang ibu berumur empat puluhan, bersama anak perempuannya yang Rena pikir masih SMP.

Turun di lantai dasar, Rena membuka payung untuk menyeberangi jalan sampai ke Alfamart, menghindari sinar matahari. Rena membeli sebungkus pads besar, itu jadi alasan ke dua kenapa dia tidak ingin Zeta ikut. Rena lebih sering belanja kebutuhan perempuan sendiri, atau mungkin bersama Mama.

Ketika ingin membayar ke kasir, Rena terkesiap sendiri, matanya melebar beberapa detik sebelum Rena pura-pura cuek. Ada cowok itu, cowok yang memegang Rena beberapa kali di elevator sepulang sekolah tadi. Sekilas, Rena bisa melihat sisi kiri wajah cowok itu lebam, di sudut mata dan tulang pipi.

Cowok itu pergi buru-buru sampai tidak menyadari keberadaan Rena, suatu keuntungan. Setelah membayar, Rena segera menenteng plastik putih khas Alfamart. Dia mengambil payung yang tadi diletakkan di luar tanpa berpikir akan ada yang mengambil benda itu. Di luar benar-benar panas padahal ini sudah menuju pukul lima sore.

Di elevator sepulang dari Alfamart, Rena sendirian. Dia berjalan cepat menuju pintu apartemen Zeta sambil menahan nyeri di pinggang, dan lutut kirinya. Setelah masuk apartemen dan menutup pintu, Rena hampir merosot lega karena khawatir cowok tadi muncul.

Cinderrena [KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang