𝕮𝖎𝖓𝖉𝖊𝖗𝖗𝖊𝖓𝖆
Sore ini Rena ke luar apartemen lagi dengan RFID card Zeta, anehnya cowok itu tidak bertanya apa-apa. Bahkan tidak berkata apa pun, seolah Zeta tidak peduli lagi apa yang akan Rena lakukan. Mungkin kalaupun Rena ingin lompat dari balkon apartemen sekarang, Zeta juga tidak akan peduli dengan ekspresinya yang menyebalkan itu.
Lagi pula, Rena tidak membuat masalah seharian. Tidak mungkin Zeta marah hanya karena Rena tidak jujur tentang apa yang mengganggunya akhir-akhir ini. Tapi setelah perdebatan kecil sepulang sekolah tadi, Zeta sungguhan bersikap acuh tak acuh. Lebih aneh lagi karena Rena kesal pada sikap Zeta yang itu, dia jadi tidak nyaman berada di apartemen.
“Re? Tinggal di apartemen sini?”
Mengenali suara itu, Rena segera menoleh pada seorang cowok yang sedang berdiri di sampingnya menunggu elevator terbuka. Sepertinya Dante dan Rena memang ditakdirkan untuk selalu bertemu secara kebetulan. Tersenyum kecil, Rena mengangguk pelan.
Kemudian pintu elevator terbuka, beberapa orang ke luar, dan beberapa orang tetap di dalam. Dante mengarahkan Rena untuk berdiri di samping dinding bagian kanan elevator. Satu tangan Dante berada di belakang badan Rena, memegang pinggangnya, siap untuk mematahkan tangan siapa saja yang berani menyentuh Rena diam-diam.
Elevator bergerak ke atas untuk mengantar beberapa penghuni apartemen lain, sampai yang tersisa hanya Dante dan Rena. Barulah elevator turun. Dante tidak lagi memegangi pinggang Rena, tangannya tergantung bebas di sisi badan. “Mau ke mana?” tanya Dante kemudian.
Jujur saja, Rena tidak punya tujuan. “Nyari cafè deket sini, mungkin?” jawab Rena skeptis, bahkan terkesan bertanya pada Dante.
“Mungkin?” ulang Dante sambil terkekeh singkat. “Ngomong-ngomong, gimana Deka? Dia keliatan marah banget waktu itu.”
Rena tidak tahu harus menjawab apa, tapi kepada Dante harusnya tidak ada yang perlu dia tutup-tutupi, mereka sudah saling mengenal cukup lama. “Ya, gitu. Dia nggak tau siapa lo, jadi marah,” ujar Rena apa adanya. “Lo tinggal di apartemen ini juga?” Rena ganti bertanya, karena tidak ingin pembicaraan mereka justru terpusat pada Zeta.
“Nggak.” Mungkin refleks, Dante meraih tangan Rena untuk digenggam setelah elevator berhenti, dan mereka ke luar. “Abis nginep sama temen. Gue sering ke sana, jadi biar nggak ribet dikasih RFID card.”
Mengangguk paham, Rena tidak tahu harus melanjutkan pembicaraan dengan topik apa. Dia hanya mengikuti Dante sampai pada area parkir di luar bangunan apartemen. Dante tiba-tiba melepas jaket-nya, dan memasangkan untuk Rena. Rena pikir Dante sudah lupa kalau kulitnya sensitif, bahkan pada matahari, tapi ternyata Dante masih mengingat itu.
“Ke cafè temen gue, aja, ya? Deket sini, kok. Ntar gue anter balik,” tutur Dante sambil menyalakan mesin mobilnya.
Rena mengangguk saja, memperhatikan sekilas isi mobil Dante yang terkesan kosong. Mereka tidak bicara apa-apa selagi menuju cafè, jantung Rena berdebar keras karena merasa suasana ini jadi canggung, meskipun Dante terlihat santai. Untungnya, mereka sampai sangat cepat ke cafè yang dimaksud Dante. Dari luar, cafè itu terlihat seperti bangunan Eropa modern.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderrena [KARYAKARSA]
RomantikGimana kalau teman seapartemenmu ternyata cinta pertamamu waktu TK? * * * Content warning(s); alcohol; harsh words; smoking; dirty jokes; dirty pick up lines; kissing, etc. Jangan dijiplak! 🔪