1K vote yuk! Jangan lupa absen jam berapa kalian baca part ini <3
𝕮𝖎𝖓𝖉𝖊𝖗𝖗𝖊𝖓𝖆
Dante memperhatikan ekspresi Rena diam-diam sejak tadi, menyadari cewek itu tidak terlalu banyak bicara. “Kenapa?” tanya Dante pengertian. “Nggak enak badan? Atau perutnya kram lagi?”
Rena menggeleng singkat. “Nggak pa-pa, kok,” jawabnya pelan. “Cuma lagi males banyak ngomong.” Kemudian menghela napas berat.
“Tadi pinjem HP siapa buat nelfon gue?” Meskipun tahu Rena hanya akan menjawab singkat dan pelan, Dante tetap mengajaknya bicara. Paling tidak mengalihkan suasana hati Rena yang kelihatan tidak cukup baik hari ini.
“Satpam,” Rena berujar. Untung saja Rena melihat satpam yang sedang melewati lorong di lantai dasar, dia jadi nekat meminjam ponsel bapak satpam untuk menelepon Dante.
Bukan tanpa alasan, Rena sudah mengusahakan semuanya untuk bicara dengan Zeta, tapi cowok itu benar-benar batu diselimuti es. Dan hari ini Rena tidak ingin berangkat sekolah dengan Zeta, dia turun pagi-pagi sekali bahkan melewatkan sarapan. Ini sudah hari ke-empat, Zeta masih sama dinginnya seperti pertama kali Rena sadar ada yang berubah dari cowok itu.
Tidak ada lagi Zeta yang marah-marah, atau Zeta yang berdebat dengan Rena setiap menit hanya karena hal sepele. Apartemen mati, tidak ada suara pekikan Rena karena kesal pada Zeta, tidak ada kalimat sarkastik Zeta yang terdengar. Berusaha memikirkan perkataan Mama juga tidak mengubah apa-apa, Rena yakin Zeta tidak sedang pusing pada tugas—atau ujian—sekolah.
“Mau sarapan sama gue atau sarapan di sekolah?” Dante menghentikan mobil di teras lobby yang pintunya sudah terbuka lebar.
Rena kelihatan berpikir keras beberapa detik, kemudian tampak pasrah. “Di sekolah, aja, deh,” ucapnya kemudian.
“Janji habis ini langsung sarapan, ya, Re. Sebelum masuk kelas, masih ada dua puluh menit, ‘kan?”
Mengangguk pelan, Rena hampir ke luar mobil untuk segera masuk lobby, tapi Dante menahan lengannya. Rena menatap Dante lagi, berpikir cowok itu ingin mengatakan sesuatu. Ternyata Dante justru menarik tengkuk Rena, menciumnya dua detik.
Karena malu, Rena segera membuka pintu mobil, dan turun. Dia mengucapkan terima kasih pada Dante sambil menahan sudut bibir untuk tidak tersenyum, dan itu menyakitkan. Mobil Dante pergi ketika Rena masuk lobby, dengan waspada melihat kanan-kiri khawatir seseorang mengintip mereka tadi. Tapi Rena tidak terlalu peduli karena dia pernah memergoki beberapa orang di lorong sepi, melakukan sesuatu seperti yang Dante lakukan padanya, atau sedikit lebih parah.
Setelah meletakkan tas di kelas, Rena bergegas ke kantin untuk sarapan. Mengejar 12 menit yang tersisa. Rena hanya sarapan dengan empat lembar pancake tipis, dan minum susu cokelat segelas penuh. Dia diam sebentar memperhatikan kantin yang kelihatan sangat luas saat hanya diisi beberapa orang yang sedang sarapan juga.
Kemudian ada yang menghampiri Rena, dia sempat waspada karena khawatir itu adalah Cajsa, ternyata hanya Jiana. Rena tidak punya firasat apa-apa pada Jiana, jadi harusnya cewek itu tidak berbahaya. Jiana menyapa dengan senyum riang, Rena iri karena pagi-pagi begini cewek itu sudah kelihatan bahagia.
“Kenapa, tuh?” Jiana menunjuk kedua sudut bibir Rena dengan garpu, masih dalam posisi duduk di depan Rena. “Keliatan murung banget lo, kurang jatah, ya?” tanyanya sembarangan.
Rena berdecak kesal, kemudian menghela napas berat. “Lo pernah ngadepin Zeta waktu marah nggak?” tanya Rena kemudian, penuh harap.
“Ooooooh, mikirin Zetaaa ....” Jiana meringis geli sambil menggeleng singkat. “Marahnya level berapa, ya? Kalo marahnya ngegas, gue pernah. Yah, dengerin aja sih dia ngomong apa.” Jiana memperhatikan Rena karena cewek itu justru diam, padahal sudah diberi jawaban. Sekilas Jiana ragu apakah jiwa Rena masih di dalam badannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderrena [KARYAKARSA]
RomanceGimana kalau teman seapartemenmu ternyata cinta pertamamu waktu TK? * * * Content warning(s); alcohol; harsh words; smoking; dirty jokes; dirty pick up lines; kissing, etc. Jangan dijiplak! 🔪