[DUA PULUH] Pasrah

15 3 0
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...

Selamat hari raya idul Fitri. Mohon maaf lahir batin. Rencananya mau update di hari lebaran, tapi Sibuk hehe ...🤭

~~~~~~

Kadang orang yang menyakiti kita pertama adalah orang terdekat kita sendiri.

===========

{Selamat membaca}

Tidak tahu, Sekar tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Semua kejadian tadi menyalahkan dirinya.  Terutama Shankara yang sudah hilang percaya padanya. Seharusnya ini tak terjadi, Seharusnya Sekar berusaha untuk Shankara kembali dengan sikap yang dulu. Tapi malah semakin menjadi-jadi. Rasanya, sekarang Sekar sudah tidak ada celah untuk merubah kakaknya kembali, dan untuk mengembalikan kakaknya seperti dulu lagi.

Terus saja, Sekar terus berdzikir dengan khusu. Sesudah keluar dari kelas tadi, Sekar langsung pergi ke masjid sekolah dan melaksanakan sholat Dhuha, dan sampai sekarang Sekar tak kembali ke kelas. Dia harus menjernihkan pikirannya.

Mukena putih yang dipakai Sekar, mampu mengingatkan ia pada mendiang almarhum ibunya. Mukena inilah milik ibunya. Tentunya Sekar sangat sedih, rasanya Sekar tak punya siapa-siapa selain Shankara yang menjadi saudara kandungnya. Hanya Kakaknya–Shankara–yang menjadi penyemangat hidupnya. Penyemangat di setiap Sekar mengalami titik terendah. Tapi semuanya, begitu hilang sekejap.

Dengan embel-embel adik angkat Shankara berubah begitu drastis.

Air mata yang akan keluar, segera Sekar hapus kembali. Ucapan Shankara begitu membekas dipikiran dan hati Sekar. Selalu terngiang-ngiang, walaupun Sekar terus memfokuskan ke dzikir 'nya.

"Ini semua pasti karena Sekar ... Dasar adik gak tahu diri. Mau kamu apa, hah!! Udah otak bego, mau jadi tukang bully lagi!"

Pertama kali dalam seumur hidupnya, Shankara mengucapkan hal semenyakit 'kan itu. Jadi selama ini, Shankara menganggapnya bodoh gitu? Entahlah ...

"Sekar." Suara lembut khas laki-laki menyapa telinganya.

Tasbih yang Sekar gerakan, terhenti dan menoleh kesamping 'nya. "Ada apa?" Sekar menatap kosong lagi ke depan, dan bibirnya kembali berkomat-kamit untuk berdzikir.

"Dari jam istirahat kamu disini, ini sudah setengah jam pelajaran berlangsung. Apakah kamu tidak kembali ke kelas." Dari tadi, Ahmed memperhatikan Sekar. Ada yang tak beres dengan perempuan itu.

Sekar membalas dengan menggelengkan kepalanya.

"Kak Ahmed temannya kak Shan 'kan?" Sekar bertanya setelah terjadi diam-diaman diantara mereka sesaat.

"Iya, kenapa?"

"Menurut kakak, Kak Shan itu bagaimana?" tanya Sekar.

"Sholeh, baik, ramah, sopan, pokoknya baik," jawab Ahmed. Ia memilih untuk duduk di samping Sekar dengan jarak dua meter.

Tanpa menoleh kearah Ahmed, Sekar tersenyum hambar. "Iya, memang Kak Shan itu baik, dan akan selalu baik. Makasih kak sudah menjawab,"

"Sama-sama."

Sekar menyudahi dzikir nya, ia membuka mukenanya, dan melipatnya dengan rapih. Kerudungnya sudah terpasang, cuman sedikit dibenarkan saja.

"Sekar." Ahmed berdiri ketika Sekar juga berdiri dan berniat keluar dari masjid sekolah.

Sekar membalik dan berhadapan dengan Ahmed. Jarak mereka tetap jauh. "Ada apa kak?"

"Enggak jadi. Hati-hati saja." Sekar mengangguk.

Behind the scene [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang