5. Edelweiss

4.5K 481 13
                                    

sampai juga ke bab 5, masih perkenalan ya, semoga kalian semua makin tertarik membacanya..

pada cerita ini, aku akan banyak adegan flashback bolak-balik.. karena entah kenapa adegan itu kaya menambah bumbu cerita bagiku, kaya yang menambah keindahan, dibandingkan satu alur ke depan..

jadi, semoga kalian semua gak kebingungan membacany ya.. i trust you *lovelovelove

happy reading my luvs.. *xoxo

-Edelweiss simbolizes courage, bravery, toughness, and strength-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Edelweiss simbolizes courage, bravery, toughness, and strength-

*****

-Flashback-

Awan Pradipta Putra Mahendra.

Laki-laki itu dipanggil Awan, oleh teman-temannya, oleh guru-guru, bahkan oleh semua orang yang mengenalnya, dan itu berarti setiap orang di sekolah ini. Ya, dia seterkenal itu.

Awan, sesosok laki-laki yang tampan, dengan ketampanan fisik yang luar biasa, dan ketampanan sifat yang lebih luar biasa. Seakan tidak cukup dia harus sempurna secara penampilan, dengan mata tajam, hidung mancung, bibir ranum, tubuh tinggi dan kulit putih bersih. Dia juga memiliki kesempurnaan perilaku, kepintaran yang diturunkan dari Ibunya, serta kepemimpinan yang didapatkan dari Ayahnya. Mungkin, aku juga tidak mengenal keluarganya.

Tapi yang paling menonjol adalah keramahannya. Ya dia sangat ramah, pada siapapun yang dia kenal maupun yang tidak. Dia juga ramah, bahkan padaku, seseorang yang tidak dia kenal.

Awan, seperti namanya, sosoknya pun seperti awan di langit sana. Tinggi, jauh, dan tak bisa diraih. Sedangkan aku hanya seperti rumput kecil, yang meskipun sudah bergoyang dan menunjukkan eksistensiku sekuat tenaga, tetap tidak akan pernah dilihat oleh orang lain, bahkan tetap tidak akan pernah diketahui keberadaannya.

Tapi, suatu hari semua itu berubah.

Siang itu, sepulang sekolah, hujan turun cukup deras. Aku berdiri sendirian di dinding samping dekat lobi sekolah. Suasana sekolah sudah cukup sepi, hanya tinggal beberapa murid yang sedang mengikuti ekskul maupun pelajaran tambahan.

"Belum pulang? Kamu gak bisa pulang? Karena hujan?" tanya suara laki-laki yang ramah, membuatku tersentak dan memandang ke arahnya tiba-tiba.

Dan di sanalah dia berada, laki-laki itu. Tinggi dan tampan, sulit untuk di raih. Laki-laki itu berdiri di sebelahku, dengan menenteng tas sekolahnya. Kemeja sekolahnya sudah ia keluarkan dari celana panjang, sementara kancing kemejanya sudah terbuka seluruhnya, memperlihatkan kaus oblong berwarna putih yang dia pakai di dalam kemeja itu.

Dia tersenyum saat itu, tidak menatapku, tidak juga memandangku. Dia tersenyum menatap hujan. Pandangannya terarah ke atas langit, seakan ingin melihat dari mana sumber hujan yang turun ke bumi saat ini.

Senja Bersama Awan (END, KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang