-Pansy symbolizes love and admiration-
*****
Awan POV
-Lima tahun kemudian-
Dinginnya udara malam membuatku mempererat mantel yang kupakai di luar jas, aku berjalan tertatih di sepanjang trotoar kota London. Kota yang entah mengapa terasa sepi malam ini, atau mungkin pikiranku yang tidak bisa merasakan keramaian. Jam sudah menunjukkan pukul dua malam, bisa terlihat dari langit malam yang semakin kelam, tanpa satupun bintang, khas kota London.
Sebuah bangunan berdinding batu bata berdiri tegak di depanku, rumah tua dengan berlantai tiga berjejer satu sama lain di sepanjang jalan, lagi-lagi khas kota London. Aku masuk ke pekarangan dan berusaha membuka kunci yang aku punya, sulit karena tanganku sedikit bergetar. Bodoh, kenapa aku harus minum sebanyak ini?
Malam ini aku hanya berencana untuk minum beberapa gelas, menemani teman-teman yang merayakan kelulusan S2. Tapi seperti biasa aku tidak bisa menolak permintaan mereka untuk tetap berada di sana dan bersenang-senang di sebuah klub tengah kota London. Jadilah sekarang aku berdiri di sini, sedikit mabuk, dan kesulitan membuka pintu rumahku sendiri. Bodoh.
Langkah kakiku langsung bergegas menuju lantai tiga, lantai yang memang sengaja aku pilih untuk mendapatkan privasi di rumah ini. Ayah, Ibu, dan Air juga tinggal di rumah ini, dua lantai di bawah kamarku. Aku masuk ke dalam kamar, dan langsung menuju tempat tidur. Aku hanya ingin berbaring.
Aku berbaring tengkurap, dengan punggung menghadap ke atas. Perlahan, sambil tetap berbaring, aku mengeluarkan sebuah handphone keluaran terbaru dari saku celana, dan menaruhnya di atas meja. Setelah itu menutup mata.
Tidak lama kemudian, aku membuka mata kembali. Tanganku yang bebas menarik sebuah laci di meja samping tempat tidur, dan mengeluarkan sebuah benda, handphone. Sebuah handphone yang langsung aku ganti begitu aku sampai ke Inggris lima tahun lalu, sebuah handphone yang entah mengapa tidak bisa aku singkirkan, sebuah handphone yang masih ada di sudut laciku sampai sekarang.
Aku membuka fitur pesan, dan menghela napas kasar. Tentu saja tidak ada.
Apa yang aku harapkan? Aku terlalu bodoh.
*****
"Kakak! Kak Awan! Bangun Kak!"
Suara Air, adikku, menggema di seluruh kamar. Telingaku yang sangat sensitif pagi ini, akibat alkohol yang kuminum tadi malam, terasa sakit mendengar lengkingan suara Air.
"Bangun Kak! Kakak pasti mabuk tadi malam ya? Untung saja Ayah sama Ibu lagi di Indonesia, kalau gak, bisa habis Kakak dimarahi sama Ibu," ujar Air sambil memasuki kamarku.
Denyutan di kepalaku semakin menguat seiiring dengan suara Air yang mendekat, "Air, jangan berteriak. Kepala Kakak sakit sekali," jawabku parau, sambil memegang kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Bersama Awan (END, KK)
Romantizm#HUJAN.SERIES.2 (Beberapa chapter sudah dipindahkan ke Karyakarsa) "Kiara?" "Naya. Kanaya?" "Bener ternyata ini lo. Gue ada perlu sama lo. Lo bisa bantu gue gak?" "Apa?" "Gue tahu lo butuh uang kan? Jadi gue mau lo kerja buat gue." "Maksudnya?" "...