#HUJAN.SERIES.2
(Beberapa chapter sudah dipindahkan ke Karyakarsa)
"Kiara?"
"Naya. Kanaya?"
"Bener ternyata ini lo. Gue ada perlu sama lo. Lo bisa bantu gue gak?"
"Apa?"
"Gue tahu lo butuh uang kan? Jadi gue mau lo kerja buat gue."
"Maksudnya?"
"...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-Hibiscus simbolizes fame, youth, and beauty-
*****
Awan POV
Handphone di tanganku tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Layarnya tetap gelap, sementara tidak terdengar bunyi telepon maupun notifikasi pesan. Kemana Senja?
Sejak pagi aku sudah menunggu kedatangannya, tapi sosok mungil itu tak kunjung muncul. Beberapa kali juga aku mencoba menelepon dan mengirimkan pesan, tapi handphone Senja mati. Ada apa?
Ibu sedari tadi hanya duduk di samping tempat tidur, matanya melirik ke arahku, terlihat penasaran. "Masih belum datang Kak?"
"Belum Bu," jawabku pasrah.
"Siapa yang kamu tunggu? Senja?"
Aku mengangguk, tidak berkata apa-apa. Pun Ibu yang tidak melanjutkan pembicaraannya tentang Senja. Itulah yang aku suka dari Ibu, tidak pernah memaksa anaknya untuk menceritakan hal yang belum siap diceritakan. Tapi Ibu akan selalu ada disaat aku membutuhkan bantuan. Ibu, Ayah, dan Air adalah keluarga yang terbaik bagiku.
"Mungkin ada keperluan yang penting, sudah dicoba telepon atau kirim pesan?" tanya Ibu. Tangannya memegang erat tanganku, seakan memberikan kekuatan yang sepertinya aku butuhkan saat ini.
"Sudah, tapi tidak dibalas. Ada apa ya? Aku khawatir, tidak biasanya dia begini. Dia sudah berjanji akan datang hari ini."
Ibu hanya mendesah, tersenyum singkat. Pelan dia melepaskan tangannya, dan berjalan menuju mini pantry di kamar perawatan ini. "Kakak mau Ibu buatkan sesuatu? Kopi? Susu? Atau mau air putih?"
Aku menoleh ke arah Ibu, melihat deretan minuman yang disiapkan oleh pihak RS. "Teh ada gak Bu, teh melati."
"Teh? Kok tumben kamu mau minum teh? Biasanya gak pernah mau, kamu bilang terlalu kecut." Ibu melihat ke arahku dengan pandangan curiga, alis matanya naik sebelah, seperti biasa. Sepertinya aku mewarisi bakat menaikkan sebelah mata ini dari Ibu.
Aku terkekeh pelan sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. "Teh ternyata enak Bu. Tapi teh melati ya, aku gak suka teh yang lain, hanya teh melati."
Kekehan Ibu terdengar merdu di telingaku. "Mungkin yang kamu suka bukan teh-nya, tapi yang membuatnya," ujar Ibu pelan, hampir tidak terdengar. Sementara aku hanya terdiam, pura-pura tidak mendengar perkataan Ibu.
Setelah memberikan secangkir teh melati untukku, Ibu kembali duduk di samping tempat tidur, ketika tiba-tiba pintu terbuka. Aku melihat seseorang memasuki kamar. Ternyata Om Bara, sahabat baik Ibu dan Ayah.
"Awan, gimana kabarnya hari ini?" tanya Om Bara tegas.
Tersenyum, aku menjawab, "baik Om, alhamdulillah."