1| Prologue

193K 9.2K 276
                                    

"Terimakasih Bu guru..."

Aku mengangguk sebagai balasan, segera membawa peralatan mengajarku keluar dari kelas. Hari ini sudah terhitung seminggu sejak pertama aku mulai mengajar di sekolah kejuruan di desaku.

Sejauh ini, aku masih tidak begitu nyaman. Terutama dengan keterbatasan fasilitas di desa yang jauh berbeda dengan di kota. Belum lagi, teman kantorku yang berbeda usia denganku.

Namaku Ana, Liana. Lima tahun lalu aku meninggalkan desa ini setelah dinyatakan lulus jalur SBMPTN di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di negeri ini. Kemudahan akses dan segala macam membuatku tumbuh di tengah modernisasi. Aku menimati hidupku sebagai calon guru muda, dan sesekali mulai mengajar di platfom edukasi berbasis online.

Setahun setelah lulus, orangtuaku memaksaku untuk pulang. Kondisi Bapak yang usianya sudah rentan dengan segala penyakit menjadi pertimbangan utamaku untuk memutuskan tinggal di desa. Hingga akhirnya Masku membantuku untuk bisa mengajar di sini.

Tidak begitu buruk sebenarnya, karena jaringan internet tenyata sudah lancar, bahkan sudah ada wifi di rumah. Sangat jauh berbeda dengan lima tahun lalu.

Tapi tetap saja aku tidak nyaman. Sepupu-sepupuku juga sering menyindir dengan kalimat 'sekolah jauh-jauh ujung-ujungnya jadi guru di desa'. Kadang aku juga ingin menjambak mereka karena tidak terima, tapi ya sudahlah. Toh apa bedanya aku yang berpendidikan dengan mereka yang tidak terdidik kalau aku ikut-ikutan berperilaku jadul.

"Mbak Ana ada yang cariin," Bu Farah menghampiriku dengan wajah usil. Usianya delapan tahun di atasku, sudah menikah dan memiliki dua orang anak kembar.

"Sek,"

"Udah dari tadi lho,"

"Siapa memang?" Tanyaku, masih sibuk membereskan meja kerjaku.

"Tuh!" Bu Farah menunjuk sosok pria bertubuh tegap dan matang, sedang dikerumuni ibu-ibu guru. Aku tidak tahu kenapa dia begitu seterkenal itu.

Aku menelan ludah, merasa terintimidasi. "Ah, ya..."

Segera kubawa tasku menjauh, menghindari pertanyaan Bu Farah yang mungkin menjerumus ke area pribadiku.

Aku berdiri agak jauh dari Mas Janu, tapi pria itu bisa menangkap kehadiranku dengan cepat.

"Mas cari aku?"

"Mau jemput," jawabnya membukakan pintu mobil untukku. Ini sudah yang ketiga kalinya diantar beliau, dan sekarang malah tidak enak.

"Bapak yang suruh ya?"

"Saya kebetulan tidak sibuk,"

Oh, dia sendiri.

"Uhm..." Mas Janu mengemudikan mobilnya meninggalkan lapangan parkir, menyisahkan keheningan di antara kami berdua.

Aku paham, Mas Janu ini anak tertuanya Pak Basuki, pemilik perkebunan kelapa sawit yang luasnya berhektar-hektar itu. Sejak kedatanganku, Bapak selalu membawa-bawa nama beliau di tengah percakapan kami.

Terakhir, yang kutahu dan kuduga, Bapak hendak menjodohkanku dengan duda kaya ini.

Ya, Mas Janu adalah seorang akuntan dengan status duda satu anak. Pisah dengan istrinya dan anaknya ikut bersama mantannya itu. Mendudanya beliau membuat banyak orang tua di desa yang menyodorkan anak gadisnya untuk dinikahi oleh Mas Janu.

Tapi aku tidak pernah sepaham kalau Bapak juga hendak begitu. Karena Bapak terikat kerjasama dengan pengelolaan sawah bersama Mas Janu, barangkali bisnis mereka membuahkan hubungan baik seperti sekarang. Yang tidak aku pahami adalah, kenapa pria itu sukarela mangantar jemputku ke sekolah.

DUDA PILIHAN BAPAK (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang