43

60.5K 5.1K 186
                                    

Kalau ada typo tandain ya, soalnya menggunakan koreksi otomatis yang belum benar-benar akurat. Terimakasih :)
______

"Gimana, Mbak? Usahanya kayaknya lancar sekali sekarang. Aku ikut senang,"

Tisa tersenyum, "lumayan, meski jarang bisa ngurus sendiri sih karena sibuk juga di puskesmas. Tapi daerah sini kan strategis juga, apalagi gas dipakai hari-hari buat masak,"

"Bener, Mbak. Aku aja udah mulai kelimpungan nyari kalau habis. Padahal lebih sering pakai yang 3 kg daripada yang 12 kg, lebih murah hitungannya sebulan heheh,"

Ana juga menceritakan pengalamannya pertama kali memasang gas karena dipaksa Ibu mertuanya biar terbiasa kalau-kalau Janu sedang tidak di rumah. "Awalnya ya Mbak, aku ndak mau nyalain kompor. Takut regulatornya belum benar-benar klik dengan tabungnya, pintu sama jendela dapur juga dibiarin buka sampai Mas Janu datang. Hihihi,"

"Kok bisa, dik? Apa ndak diperiksa? Kalau ndak ada bau gas ya ndakpapa. Didengar dari dekat biasanya ada suara gas lepas, berarti memang belum benar,"

"Ya awalnya kan aku ndak tahu, Mbak. Apalagi kan ada gas yang karetnya tidak cocok, mesti ganti-ganti dulu baru dapat yang pas, kadang ribet lah Mbak. Sekarang saja masih sering dilihatin Mas Janu,"

Tisa tertawa ringan, wajar kalau Ana tidak terlalu paham dengan hal-hal seperti itu karena sejak tinggal di rumah mertua sering dilarang menyentuh dapur oleh Ibu.

Ketika memiliki rumah sendiri, Ana pelan-pelan harus berani menangani berbagai masalah di dapurnya sendiri.

"Kata Mas Janu, kalian mau program lagi?" Tanya Tisa, mendengar curhatan Janu beberapa waktu lalu dengannya.

Ana mengangguk semangat. "Mas Janu habis cerita, ya?"

"Iya,"

"Lagi pengen ada adiknya Jagat, Mbak. Biar rumah juga makin ramai, siapa tahu nanti kalau udah gedean dikit Lala jadi mau ikut kami,"

Tisa mengangguk paham. Usia Ana masih begitu muda, masih di tahap ingin memiliki banyak anak, ingin mengandung lagi. Tisa sendiri belum memikirkan mau menambah anak lagi, karena sekarang yang menjadi fokusnya adalah Rehan yang sudah beberapa waktu tidak mengunjunginya dan anaknya di rumah orang tua Tisa.

"Rumahmu yang gede memang bagus diisi banyak anggota keluarga, dik. Kalau lebaran ndak kebayang bagaimana serunya merayakan ramai-ramai bersama anak-anak,"

"Hm, Mbak bahas lebaran aku jadi teringat bolu pandan buatan Ibuku," Ana mengulas senyum, teringat dulu sewaktu masih kos-kosan jaman kuliah dan tidak sempat pulang lebaran, pasti dikirimi Ibu bolu.

"Eh, Mbak ada habis buat bolu juga. Tapi di rumah, nanti mampir habis ini,"

Mata Ana sontak berbinar terang. Wanita itu menelan ludah, "wah, boleh Mbak. Padahal baru kebayang mau minta dibelikan Mas Janu,"

"Ya, nanti mampir sekalian. Kemarin Mbak mau ziarah ke makamnya anaknya Mas Rehan bareng-bareng dengan Dhatu dan ponakannya Mbak, Mila. Mbak buat kue biar nanti di jalan ada yang dimakan, soalnya kan jauh. Eh, tapi malah Mas Rehan ndak datang, mana ndak ada yang bisa bawa mobil di tempat terjal begitu, apalagi sekarang musim hujan, jalannya ndak diaspal,"

"Iya sih, kata Mas Janu lokasi pemakamannya jauh, jalannya rusak,"

Dalam hati Ana kagum dengan Tisa yang masih memiliki kasih sayang dengan mendiang anak suaminya. Padahal, tidak semua perempuan di posisi Tisa bisa membuka hati dan menerima hasil perbuatan dosa sang suami dengan perempuan lain. Bayi yang bahkan belum sempat melihat dunia.

"Lho, Mas Radit?" Ana mengangkat alisnya ketika melihat kakaknya turun dari mobil dan menghampiri mereka.

"Heh, ada kamu tho di sini. Jagat mana, dik?" Heran saja melihat Ibu menyusui seperti Ana yang bisa lepas dari anaknya di jam segini.

DUDA PILIHAN BAPAK (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang